Translate

Minggu, 25 Oktober 2009

** Pesantren dan Arus Globalisasi

Pesantren Dan Arus Globalisasi


Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Dunia Pesantren

Tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat dari perjalanan penulis ke berbagai pelosok desa dalam rangka mengunjungi beberapa pondok pesantren (baca: salafi) di daerah pedesaan. Pada saat kunjungan tersebut, ternyata penulis menemukan banyak sekali—saat ini—pondok pesantren yang ditinggalkan oleh penghuninya (santri). Pondok pesantren yang dahulu terkenal ramai, kini sedikit demi sedikit ditinggalkan peminatnya.

Hampir disemua pondok pesantren tradisional terkecuali pondok pesantren modern sepi dari peminat. Entah fenomena apa yang terjadi. Apakah saat ini masyarakat kita sudah enggan untuk mendalami ajaran Islam ataukah memang masyarakat kita sudah terracuni oleh anggapan bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah, atau apakah ini yang merupakan dampak negatif dari arus globalisasi yang lebih mementingkan pengejaran materi atau duniawi, semua itu menjadi mungkin.

Padahal pesantren (atau pondok, surau, dayah atau nama lain sesuai daerahnya) dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya adalah merupakan salah satu tipologi institusi pendidikan khas Indonesia yang telah hadir beratus-ratus tahun yang lalu.

Tapi siapa yang menyangka, institusi pendidikan yang dianggap kolot, tradisional, konservatif, terbelakang, tak modern, dan masih banyak lagi penilaian negatif lainnya adalah sebuah institusi pendidikan yang mempunyai jasa tinggi di dalam mempertahankan tanah air tercinta ini. Kalau saja kita mau jujur dan membaca sejarah, maka kita akan mengetahui bahwa lembaga pendidikan yang di sebut kolot ini ternyata telah melahirkan banyak pemimpin yang masyhur di negeri ini.

Lihat saja pada masa jauh pra-kemerdekaan, sebagai contoh berbegai perjuangan yang dilakukan oleh kalangan pesantren melawan para penjajah telah mampu merepotkan kolonialisme di negeri ini, seperti misalnya pemberontakan petani Banten yang dimotori oleh para santri-santri pengikut tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah pada tahun 1888 telah mampu mengobarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda sehingga bangsa Indonesia dapat bertahan yang pada akhirnya meraih kemerdekaannya pada 1945 M.

Zaman kini telah berubah, lembaga pendidikan pesantren nampaknya tak bisa mengelak menghadapi perkembangan zaman yang semakin maju, bak banjir di musim penghujan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat ini tak bisa di bendung. Lembaga pendidikan pesantren kini tak bisa mempertahankan eklusivitasnya, akan tetapi sebaliknya, pesantren kini harus membuka matanya lebar-lebar dan mengalihkan orientasinya untuk lebih inklusif atas perubahan zaman agar pesantren tak kehilangan penggemarnya.

Sebagai langlah menuju perubahan itu, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang sangat urgen untuk direkonstruksi dalam tubuh pendidikan pesantren tradisional sendiri;

Pertama, rekonstruksi kurikulum pendidikan pesantren. Kurikulum pendidikan pesantren yang lebih memprioritaskan kajian agama saat ini harus kembali dibenahi. Pesantren saat ini harus membuat kurikulum terpadu, sistematik, egaliter, dan bersifat buttom up (tidak top down). Maksudnya, penyusunan kurikulum pesantren tidak lagi didasarkan pada konsep plain for student tetapi harus plain by student.

Kedua, rekonstruksi metode pembelajaran pesantren. Alternatif ke dua ini ditawarkan mengingat proses belajar-mengajar di lingkugan pesantren tradisional masih berkutat pada bahan dan materi dan bukan pada tujuan yang sebenarnya.

Di lingkungan pesantren tradisional, seorang santri dikatakan berhasil jika ia mampu menguasai materi-materi yang disampaikan sang guru dan kemudian di hafalkannya dengan apik, karena menurutnya, parameter keilmuan seseorang dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghafal teks-teks. Orientasi ini kini sudah harus dibenahi. Seorang peserta didik tidak harus cakap dalam menghafal materi pelajaran, akan tetapi ia juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.

Jika kita memperhatikan kondisi di masyarakat, banyak sekali prilaku-prilaku yang sangat bertolak belakang dengan norma agama. Hal inilah yang harus dimengerti oleh para peserta didik pesantren untuk bisa beradaptasi dan menyikapi atas kondisi di masyarakt tersebut, agar kemudian tidak terjadi pertentangan yang bisa saja menimbulkan konflik. Untuk itu, perpaduan antara kemahiran ilmu agama dan kemahiran bersosial di masyarakat sudah seharusnya menjadi perhatian kalangan pesantren. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, peningkatan tradisi tulis menulis. Di lingkungan pesantren bahkan di lembaga-lembaga pendidikan sekolah lainnya sampai saat ini, tradisi tulis menulis sangatlah minim bahkan mungkin tidak ada. Padahal dunia ini tidak akan berkembang seperti saat ini jika saja para ilmuan tempo dulu tak rajin mengarsipkan hasil penemuannya dalam bentuk buku. Begitu banyak karya-karya manumental yang telah dihasilkan yang seharusnya kita kembangkan kembali, bukan hanya di baca kemudian diceritakan.

Keempat, melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan yang berisi tidak hanya buku-buku agama akan tetapi menyediakan buku-buku yang mengkaji ilmu pengetahuan lainnya seperti buku-buku eksakta, dan sosial.

Langkah keempat ini memang tak bisa dilakukan oleh lembaga pesantren seorang diri. Langkah ini akan berjalan dengan lancar jika saja dukungan dari kalangan pemerintah baik itu pusat maupun daerah atau para donatur memberikannya secara maksimal seperti kepada lembaga-lembaga pendidikan umum lainnya. Pihak pemerintah sudah saatnya kini menyamakan lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya dan tidak melihatnya dengan sebelah mata.

Kelima, rekonstruksi pola kepemimpinan pesantren. Rekonstruksi ini merupakan yang terpenting dalam tubuh lembaga pendidikan pesantren. Karena jika seorang pemimpin pesantren enggan untuk melakukan rekonstruksi di atas, dan masih menganggap sebagai pemegang dan penentu kebijakan dengan tidak mempertimbangkan saran-saran dari pengurus bawah pesantren untuk melakukan rekonstruksi, maka yakinlah umur pesantren tersebut—dengan tidak menunggu waktu yang lama—akan menemui ajalnya.

Kerugian lainnya yang ditimbulkan dari pola kepemimpinan semacam itu adalah munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena biasanya dalam tradisi pesantren semua hal bergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang telah direncanakan secara matang harus terhenti hanya karena menunggu restu dari sang kiyai, sehingga kemudian akan menghilangkan gairah untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti bagi pesantren.

Lebih parah dari itu, kondisi tersebut juga bisa menimbulkan keengganan bagi generasi muda pesantren untuk melakukan inovasi-inovasi baru demi pengembangan pesantren lantaran khawatir dianggap melangkahi kebijakan tertinggi di pesantren tersebut dan bisa menumbuhkan ketakutan akan ilmu yang tidak bermanfaat.

Untuk itu, sebagai upaya pemecahan mendasar atas kondisi tersebut, maka tak ada cara lain selain usaha merekonstruksi dan mencari terobosan atau solusi yang mencerahkan seperti pembagian job penentu kebijakan dalam tubuh pesantren sudah seharusnya diterapkan jika pesantren yang dianggap kolot ingin bangkit, eksis dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin maju ini.

Keenam, hilangkan persepsi adanya dikotomi (pembagian) ilmu menjadi ilmu umum (eksakta, sosial, dll) dan ilmu agama. Biasanya dalam tradisi pesantren masih melekat sekali anggapan bahwa penguasaan ilmu agama itu jauh lebih penting dari pada penguasaan ilmu umum. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan putra-putri kiyai pemilik pesantren yang biasanya lebih mementingkan pendidikan agama dengan belajar di pesantren-pesantren dan menyampingkan pendidikan formal. Padahal kalau kita mau melihat kiprah para ulama tempo dulu banyak sekali ulama-ulama yang tidak hanya menguasai ilmu agama akan tetapi ilmu-ilmu lainnya; seperti Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Ibn Bajah, dan lain sebagainya. Untuk itu, marilah kita hilangkan anggapan dikotomi ilmu itu, dan mulai rajut kembali integrasi ilmu dengan menganggap segala macam ilmu adalah hal yang sangat penting.

Beberapa langkah di atas, mudah-mudahan bisa dijadikan sebagai obat penawar atas kondisi pesantren yang saat ini semakin lama semakin "tergilas" oleh perkembangan zaman yang semakin maju. Bukankah dalam tradisi pesantren ada ungkapan yang mengatakan; "memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik". Kenapa kita harus takut untuk merubahnya! []


Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Opini Fajar Banten, Agustus, 2007

** Zaid bin Tsabit

Zaid bin Tsabit;
Penyusun Kodifikasi Al-Qur’an Pertama

Oleh: K. Muhammad Hakiki, MA
Mahasiswa S3 UIN Bandung

Di seluruh dunia tak seorang muslim pun meragukan keaslian dan keabsahan kitab suci al-Qur’an yang merupakan verbum dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim dengan perantara Malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Bukti keyakinan itu sampai detik ini jutaan kaum muslimin masih mentadaruskan dan mengkaji isi kandungan al-Qur’an terutama pada bulan suci Ramadhan ini.
Turunnya al-Qur’an yang memakan waktu cukup lama, membuat al-Qur’an terpisah-pisah. Bukti historisnya adalah dalam ilmu al-Qur’an ada yang dinamakan ayat-ayat Makiyyah (ayat yang diturun di Makkah) dan Madaniyyah (ayat yang turun di Madinah). Lalu bagaimana proses pengumpulan dari yang terpisah dan tercecer kini menjadi satu kumpulan utuh yang dinamakan Mushaf Utsmani, siapa yang telah berjasa men-tadwin-kan atau mengkodifikasikan itu?
Jika kita membaca bagaimana sejarah peng-kodifikasi-an al-Qur’an, maka kita akan menemukan sahabat nabi yang bernama Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit adalah tokoh yang berjasa dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang tercecer. Ia mendapat rekomendasi dari tiga Khalifah yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan untuk segera mengumpulkan al-Qur’an dengan pertimbangan banyaknya sahabat Nabi (para penghafal al-Qur’an) yang terbunuh dalam perang Yamamah.
Tulisan ini akan menyoroti diseputar pemilihan Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim pentadwinan al-Qur’an dengan permasalahan: Apa kriterianya, mengapa zain bin Tsabit yag terpilih, apakah tidak ada sahabat lain yang mempunyai kemampuan lebih dari Zaid sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan menjadi fokus kajian dalam kesempatan kali ini.
Zaid bin Tsabit adalah salah seorang sahabat nabi dari kaum Anshar dan berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya adalah Abu Kharijah Zaid bin tsabit bin ad-Dahhak bin Zaid bin Laudan bin Amr bin Abd Manaf bin Ganam bin Malik bin an-Najjar al-Ansari al-Khazraji. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia sebelas tahun.
Sejak masa muda, Zaid sudah hafal surat dan ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Ia diangkat menjadi sekretaris Nabi untuk menulis wahyu yang turun dan menulis surat-surat kepada orang Yahudi. Ia sangat cerdas dan cepat memahami bahasa asing. Bahasa Yahudi menurut satu riwayat, dipelajarinya dalam waktu 17 hari. Kecerdasan dan luasnya pengetahuan membuatnya dijuluki “ulama masyarakat” ia juga terkenal sebagai ahli dalam ilmu fara’id (pembagian harta pusaka).
Bahkan menurut riwayat, Abddullah bin Abbas sering mendatangi rumahnya untuk berguru, padahal Abdullah bin Abbas sendiri dikenal sebagai bapak Para Mufassir al-Qur’an. Ia berkata: “ilmu itu didatangi, bukan mendatangi” kata Ibn Abbas ketika ditanya orang, mengapa ia selalu mendatangi rumah Zain bin Tsabit. Suatu ketika Abdullah bin Abbas memegang pelana kuda yang akan dinaiki oleh Zaid, tetapi Zaid mencegahnya karena hal itu dipandang terlalu memuliakannya. Ibn Abbas menjawab, “beginilah cara aku memuliakan ulama”. Kemudian Zaid mengambil tangan Ibn Abbas dan menciumnya sambi berkata: “Beginilah kami disuruh memuliakan keluarga Nabi”.
Menurut sebuah hadits yang kemudian dijadikan alasan pemilihan Zaid dikemudian hari adalah pertimbangan Abu Bakar memilih Zaid. Dalah hadits itu di jelaskan bahwa ketika Abu Baker ditanya oleh Zaid perihal alasannya memilih Zaid adalah bahwa Zaid adalah termasuk orang yang cekatan, relative masih muda, tidak diragukan kemampuannya, pernah menjadi pencatat wahyu atau sekretaris Rasulullah. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian Abu Bakar dan Umar memilih Zaid untuk menjadi orang yang bertugas mengumpulkan al-Qur’an.
Jika melihat dari pertimbangan Abu Bakar dalam memilih Zaid di atas, nampaknya faktor-faktor tersebut tidak begitu berperan penting dalam kaitan tentang tugas sebagai pengumpul al-Qur’an. Ada sebenarnya faktor yang justru berpengaruh dan urgen akan tetapi tidak dijelaskan bahkan atau mungkin tidak dijadikan alasan oleh Abu Bakar yakni prihal kemampuan Zain dalam menghafal al-Qur’an.
Menurut realita sejarah tidak ada garansi yang diberikan oleh Rasulullah perihal kemampuan Zaid bin Tsabit. Berbeda misalnya dengan apa yang terjadi pada Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib sendiri yang mendapat garansi dari Rasul perihal kemampuannya. Akan tetapi kenapa justru Zaid bin Tsabit yang mendapatkan atau dipercayai sebagai pentadwin al-Qur’an?
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah termasuk keponakan Nabi yang masuk Islam pada usia yang relative muda, ia juga termasuk diantara sahabat yang masuk Islam pertama. Menurut riwayat Ia masuk islam setelah istri Nabi Khadijah, dalam riwayat lain ia orang kedua yang masuk Islam setelah Abu Bakar.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ali sebagai pungumpul pertama al-Qur’an berdasar perintah nabi sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi pernah berkata kepada Nabi: “Hai Ali, al-Qur’an ada dibelakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera dan kertas, ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-siakan seperti orang yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Disebutkan oleh al-Zanjani bahwa pada waktu itu Ali menuju ke tempat itu dan membungkus bahan-bahan tersebut dengan kain berwarna kuning, kemudian disegel”.
Disamping kepercayaan yag diberikan Rasul di atas, Ali pernah dijuluki oleh Nabi sebagai pintu dari pada ilmu, ia juga pernah dido’akan oleh Nabi: “Semoga Allah meneguhkan lisanmu dan memberikan petunjuk pada hatimu”. Kemudian dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim bahwa Ali pernah berkata: “Demi Allah, tidaklah turun suatu ayat kecuali aku benar-benar mengetahui sebab apa ia diturunkan. Sungguh, Tuhanku telah menganugrahkan kepadaku hati yang berakal dan lisan yang aktif bertanya”.
Ibn Mas’ud
Ib Mas’ud yang mempunyai nama lengkap ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzli ra adalah salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai otoritas besar dalam al-Qur’an. Ia juga merupakan salah seorang dari empat besar sahabat yang direkomendasikan oleh Nabi sebagai tempat bertanya tentang al-Qur’an. Otoritas dan populeritasnya dalam kajian al-Qur’an memuncak ketika ia bertugas di Kuffah, dimana mushafnya memiliki pengaruh besar dan luas. Masyarakat Kuffah pada waktu itu memiliki dua versi mushaf al-Qur’an yang disusun oleh Ibn Mas’ud sendiri dan mushaf Utsmani. Bahkan keberadaan mushaf versi Ibn Mas’ud pada waktu itu telah diperbanyak, seperti; mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi’, mushaf Ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagi saya Yang menarik dan patut dipertanyakan tentang Ibn Mas’ud adalah berkaitan dengan tidak masuknya ia dalam deretan tim pengumpul al-Qur’an versi kalangan elite pemerintah Khalifah Umar dan Ustman yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Padahal seperti yang dikatakan oleh Ibn Abu Daud penulis kitab Mashahif, Ibn Mas’ud lebih dahulu masuk Islam dibandingkan Zaid bin Tsabit. Dan yang lebih penting adalah keberadaan mushaf Ibn Mas’ud sudah populer ketika mushaf versi Utsmani belum muncul.
Abdullah bin Abbas
Dalam peta perkembangan kajian al-Qur’an, nama Abdullah bin Abbas mempunyai peranan penting dan menduduki posisi yang sangat terkemuka. Hal tersebut terlihat dari figurasi dirinya sebagai “tarjuman al-Qur’an” (penafsir al-Qur’an terbaik), ia juga dijuluki sebagai “al-habr al-Ummah” (intelektual ummat). Yang menarik dari sosok Ibn Abbas ini adalah ia pernah di do’akan oleh Rasulullah: “Ya Allah, anugrahilah dia pemahaman dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil).
Bahkan menurut riwayat, Ibn Abbas telah membuat satu kodifikasi atas al-Qur’an yang menurut beberapa ahli mempunyai kualitas yang sama dengan mushaf Ibn Mas’ud, akan tetapi ketenaran akan alimnya dan garansi yang diberikan oleg Rasul ternyata tidak berdampak besar terhadap periode awal pentadwinan teks al-Qur’an.
Nama-nama yang disebutkan di atas di antara sahabat-sahabat Nabi yang masyhur dan mempunyai kualitas lebih atau peling rendah sebanding dengan Zaid bin Tsabit sendiri khususnya tentang penguasaan al-Qur’an. Meskipun sebanarnya banyak sahabat-sahabat lain yang juga terkenal bahkan mempunyai kodifikasi musfah sebelum munculnya mushaf Utsmani, diantaranya: Salim ibn Ma’qil (juga mendapatkan rekomendasi dari rasul perihal pencatatan wahyu dan pengajaran al-Qur’an kepada kaum muslimin), Ubai bin Ka’b (sekretaris Nabi ketika ia di Madinah), Abu Musa al-Asy’ari, Ummu Salamah, Ibn Zubayr, Ana ibn Malik, dan sahabt-sahabat lainya.
Kesimpulan
Hadirnya tulisan ini bukan berarti menggugat atau mempertanyakan kembali mengenai keotentikan al-Qur’an yang sudah lama kita pegang dan kita yakini. Tulisan ini hanya sekedar menyajikan realita sejarah yang tak mungkin kita pungkiri karena bagaimanapun sejarah diseputar kodifikasi al-Quran itu memang benar-benar terjadi dan harus kita ketahui sebagai sebuah ilmu.


Artikel ini pernah dimuat di surat Kabar Radar Lampung 2006

** Kodifikasi Alqur'an

Telaah Kritis Kodifikasi al-Qur’an

Oleh: K. Muhammad Hakiki
Alumni IAIN Raden Intan; Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Di seluruh dunia tak seorang muslim pun meragukan keaslian kitab suci al-Qur’an yang merupakan verbum dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim dengan perantara Malaikat Jibril selama lebih dari dua puluh tahun. Bukti keyakinan itu sampai detik ini jutaan kaum muslimin masih mentadaruskan dan mengkaji kandungan al-Qur’an terutama pada bulan suci Ramadhan ini.
Turunnya al-Qur’an yang memakan waktu cukup lama, membuat al-Qur’an terpisah-pisah. Bukti historisnya adalah dalam ilmu al-Qur’an ada yang dinamakan ayat-ayat Makiyyah (ayat yang diturun di Makkah) dan Madaniyyah (ayat yang turun di Madinah).
Lalu bagaimana proses pengumpulan dari yang terpisah dan tercecer kini menjadi satu kumpulan utuh yang dinamakan Mushaf Utsmani, siapa yang berjasa mengkodifikasikan itu?
Jika kita membaca bagaimana sejarah kodifikasi al-Qur’an, maka kita akan menemukan sahabat Nabi yang bernama Zaid bin Tsabit. Zaid adalah tokoh yang berjasa dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang tercecer. Ia mendapat rekomendasi dari tiga Khalifah yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Afan untuk segera mengumpulkan al-Qur’an dengan pertimbangan banyaknya sahabat Nabi (para penghafal al-Qur’an) yang terbunuh dalam perang Yamamah.
Tulisan ini akan menyoroti diseputar pemilihan Zaid sebagai ketua tim pentadwinan al-Qur’an dengan permasalahan: mengapa Zaid yang terpilih, apakah tidak ada sahabat lain yang mempunyai kemampuan lebih dari Zaid sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi fokus kajian dalam kesempatan ini.
Zaid adalah salah seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar dan berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya adalah Abu Kharijah Zaid bin tsabit bin Dahhak bin Zaid bin Laudan bin Amr bin Abd Manaf bin Ganam bin Malik bin Najjar al-Ansari al-Khazraji. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya ketika berusia sebelas tahun. Sejak masa muda, ia diangkat menjadi sekretaris Nabi untuk menulis wahyu yang turun dan menulis surat-surat kepada orang Yahudi.
Menurut sebuah hadits yang kemudian dijadikan alasan pemilihan Zaid dikemudian hari adalah pertimbangan Abu Bakar memilih Zaid. Dalam hadits itu di jelaskan bahwa ketika Abu Bakar ditanya oleh Zaid perihal alasannya memilih Zaid adalah bahwa ia adalah termasuk orang yang cekatan, relative masih muda, pernah menjadi pencatat wahyu atau sekretaris Rasulullah. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian Abu Bakar dan Umar memilih Zaid untuk menjadi orang yang bertugas mengumpulkan al-Qur’an.
Jika melihat pertimbangan Abu Bakar dalam memilih Zaid di atas, nampaknya faktor-faktor tersebut tidak begitu berperan penting dalam kaitan tentang tugas sebagai pengumpul al-Qur’an. Ada sebenarnya faktor yang justru berpengaruh dan urgen akan tetapi tidak dijelaskan atau mungkin tidak dijadikan alasan oleh Abu Bakar yakni prihal kemampuan Zain dalam menghafal al-Qur’an.
Menurut realita sejarah tidak ada garansi yang diberikan oleh Rasulullah perihal kemampuan Zaid. Berbeda misalnya dengan apa yang terjadi pada Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib sendiri yang mendapat garansi dari Rasul perihal kemampuannya. Akan tetapi kenapa justru Zaid yang mendapatkan atau dipercayai sebagai pentadwin al-Qur’an?
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah keponakan Nabi yang masuk Islam pada usia yang relative muda, ia juga termasuk di antara sahabat yang masuk Islam pertama. Menurut riwayat, ia masuk Islam setelah istri Nabi Khadijah, dalam riwayat lain ia orang kedua yang masuk Islam setelah Abu Bakar.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ali adalah pungumpul pertama al-Qur’an berdasar perintah Nabi sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi pernah berkata kepada Ali: “Hai Ali, al-Qur’an ada dibelakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera dan kertas, ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Disebutkan oleh al-Zanjani bahwa pada waktu itu Ali menuju ke tempat itu dan membungkus bahan-bahan tersebut dengan kain berwarna kuning, kemudian disegel”.
Disamping kepercayaan yag diberikan Rasul di atas, Ali pernah dijuluki oleh Nabi sebagai pintunya ilmu, ia juga pernah dido’akan oleh Nabi: “Semoga Allah meneguhkan lisanmu dan memberikan petunjuk pada hatimu”. Kemudian dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim bahwa Ali pernah berkata: “Demi Allah, tidaklah turun suatu ayat kecuali aku benar-benar mengetahui sebab apa ia diturunkan. Sungguh, Tuhanku telah menganugrahkan kepadaku hati yang berakal dan lisan yang aktif bertanya”.
Ibn Mas’ud
Ib Mas’ud yang mempunyai nama lengkap ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzli ra adalah salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai otoritas besar dalam al-Qur’an. Ia juga merupakan salah seorang dari empat besar sahabat yang direkomendasikan oleh Nabi sebagai tempat bertanya tentang al-Qur’an. Otoritas dan populeritasnya dalam kajian al-Qur’an memuncak ketika ia bertugas di Kuffah, dimana mushafnya memiliki pengaruh besar dan luas. Masyarakat Kuffah pada waktu itu memiliki dua versi mushaf al-Qur’an yang disusun oleh Ibn Mas’ud sendiri dan mushaf Utsmani. Bahkan keberadaan mushaf versi Ibn Mas’ud pada waktu itu telah diperbanyak, seperti; mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi’, mushaf Ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagi saya Yang menarik dan patut dipertanyakan tentang Ibn Mas’ud adalah berkaitan dengan tidak masuknya ia dalam deretan tim pengumpul al-Qur’an versi kalangan elite pemerintah Khalifah Umar dan Ustman yang diketuai oleh Zaid. Padahal seperti yang dikatakan oleh Ibn Abu Daud penulis kitab Mashahif, Ibn Mas’ud lebih dahulu masuk Islam sebelum Zaid lahir. Dan yang lebih penting adalah keberadaan mushaf Ibn Mas’ud sudah populer ketika mushaf versi Utsmani belum muncul.
Abdullah bin Abbas
Dalam peta perkembangan kajian al-Qur’an, nama Abdullah bin Abbas mempunyai peranan penting dan menduduki posisi yang sangat terkemuka. Hal tersebut terlihat dari figurasi dirinya sebagai “tarjuman al-Qur’an” (penafsir al-Qur’an terbaik), ia juga dijuluki sebagai “al-habr al-Ummah” (intelektual ummat). Yang menarik dari sosok Ibn Abbas ini adalah ia pernah di do’akan oleh Rasulullah: “Ya Allah, anugrahilah dia pemahaman dalam urusan agama dan ajarilah ia takwil).
Bahkan menurut riwayat, Ibn Abbas telah membuat satu kodifikasi atas al-Qur’an yang menurut beberapa ahli mempunyai kualitas yang sama dengan mushaf Ibn Mas’ud, akan tetapi ketenaran akan alimnya dan garansi yang diberikan oleh Rasul ternyata tidak berdampak besar terhadap periode awal pentadwinan teks al-Qur’an.
Nama-nama yang disebutkan di atas di antara sahabat-sahabat Nabi yang masyhur dan mempunyai kualitas lebih atau peling rendah sebanding dengan Zaid sendiri khususnya tentang penguasaan al-Qur’an. Meskipun sebanarnya banyak sahabat-sahabat lain yang juga terkenal bahkan mempunyai kodifikasi musfah sebelum munculnya mushaf Utsmani, diantaranya: Salim ibn Ma’qil (juga mendapatkan rekomendasi dari rasul perihal pencatatan wahyu dan pengajaran al-Qur’an kepada kaum muslimin), Ubai bin Ka’b (sekretaris Nabi ketika ia di Madinah), Abu Musa al-Asy’ari, Ummu Salamah, Ibn Zubayr, Ana ibn Malik, dan sahabt-sahabat lainya.
Alasan penunjukan Zaid kerena ia masih berusia muda, mungkin bias dipahami dari sisi politik. Abu Bakar mungkin memandang bahwa anak muda seperti Zaid bisa diharapkan ketaatan atau kepatuhan terhadap perintah Khalifah, ketimbang dari para pejabat senior yang keras kepala.
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa Zaid yang pada masa Khalifah Utsman menduduki jabatan penting adalah pendukug setia Utsman, bahkan ketika Khalifah ketiga ini terbunuh, Zaid tetap dalam posisi pendukung Umaiyah—yang segaris keturunan dengan Utsman—dan menolak bersumpah setia kepada Ali.
Disamping itu semua anggota komisi pentadwinan al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid juga orang-orang terdekat penguasa, seperti; Abdullah ibn Zubayr yang mrupakan anak tiri Khalifah Umar, Sa’id ibn al-‘Ash yang merupakan keturunan dari keluarga Umaiyah, ia pun menjadi gubernur Kuffah setelah pemecatan Walid bin Uqbad oleh Khalifah Utsman.
Dari data sejarah di atas, ternyata pertimbangan politik memainkan peran dalam pembentukan komisi pentadwinan al-Qur’an oleh kalangan elite penguasa pada waktu itu.
Hadirnya tulisan ini bukan berarti menggugat atau mempertanyakan kembali mengenai keotentikan al-Qur’an yang sudah lama kita pegang dan kita yakini. Tulisan ini hanya sekedar menyajikan realita sejarah yang tak mungkin kita pungkiri karena bagaimanapun sejarah diseputar kodifikasi al-Quran itu memang pelik, benar-benar terjadi dan harus kita ketahui sebagai sebuah ilmu. Wallahu’alam



Dimuat di Radar Lampung Jum’at 6 Oktober 2006

** Hermeneutika

Hermeneutika Alqur’an KH. Nawawi Banten


Judul : Hermeneutika Alqur’an Ala K.H Nawawi Banten; Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten
Penulis : Dr. Mamat S. Burhanuddin
Penerbit : UII Press, Yogyakarta
Terbit : Cetakan I, April 2006
Tebal: xviii + 232 Halaman



Nama KH Nawawi Banten mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian umat Islam Indonesia. Bahkan keagungan namanya sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi'i Imam Nawawi seorang pen-syarah Shahih Muslim (w.676 H/l277 M).

Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta'lim, pesantren, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.
Karena itulah, keagungan nama besar KH. Nawawi Banten mendorong para peneliti ramai mengkajinya. Berbagai kajian dari sudut analisa yang berbeda telah dihadirkan. Misalnya;
C. Snouck Hurgronje “Mekka in The Letter Part of the Nineteenth Century”. Dalam buku ini—sebagai rujukan awal mengenal KH Nawawi Banten—, Snouck menguraikan kehidupan KH Nawawi selama di Makkah.
Chaidar, “Sejarah Pujangga Islam, Syekh Nawawi al-Bantani-Indonesia”. Dilihat dari isinya, buku ini hanya menyoroti sisi biografi dan pengenalan karya-karya dari KH. Nawawi Banten. Penelitian lainnya, Srimulyati dalam karya Tesisnya di Mc Gill University, berjudul “Sufism in Indonesia; An Analysis of Nawawi al-Bantani’s Salalim al-Fudola”. Dalam buku ini Sri Mulyati berkesimpulan bahwa KH Nawawi Banten memiliki pandangan tasawuf yang tidak terpengaruh oleh aliran heterodoks yang sebelumnya tengah mendominasi wacana tasawuf di Indonesia saat itu. Ia (Nawawi) lebih berperan sebagai “pelestari” tasawuf Syar’i yang dikembangkan oleh al-Ghazali.
Ahmad Asnawi “Pemahaman Syekh Nawawi Tentang Ayat Qadar dan Jabbar dalam Kitab Tafsirnya “Marah Labid”; Suatu Studi Teologi”. Dalam disertasi-nya, Asnawi hanya melihat dari sisi penafsiran teologisnya. Ketika menafsirkan ayat-ayat teologi, menurut Asnawi, K H Nawawi terpengaruh oleh gaya penafsiran Mu’tazilah yang rasionalis. Argumentasi yang disajikan adalah bahwa referensi yang dipakai oleh KH Nawawi Banten secara dominan memakai kitab tafsir bi al-Rayi seperti Tafsir Mafatih al-Ghayb karya al-Razi.
Kemudian Tihami “Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani”. Dalam disertasi-nya, Tihami mencoba mengungkap sisi pandangan fiqh dari KH Nawawi Banten. Tihami menyimpulkan bahwa sebagai mujtahid Mazhab, Nawawi konsisten dengan metodologi fiqh Imam Syafi’i.
Karya disertasi lainnya yang mengulas KH Nawawi Banten adalah Mustamin Muhammad Arsyad, berjudul “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fi Tafsir al-Qur’an al-Karim fi Kitabihi “al-Tafsir al-Munir Lima’alim al-Tanzil”. Dalam disertasinya, Mustamim mengupas aspek keseriusan dari KH Nawawi Banten dalam menulis karya tafsirnya. Dia membuktikan dari berbagai aspek; baik itu metode, fiqh dan tasawufnya.
Buku terbaru yang juga mengkaji sudut pemikiran KH Nawawi Banten adalah buku berjudul “Yahudi Dan Nasrani Dalam Al-Qur’an; Hubungan Antar Agama Menurut Syaikh Nawawi Banten” karya Asep Muhammad Iqbal. Buku yang pada mulanya adalah sebuah Tesis yang ia pertahankan di Universitas Leiden mengurai seputar pemikiran KH Nawawi tentang konsep Yahudi dan Nashrani.
Kajian atas KH Nawawi Banten ternyata tidak berhenti sampai disitu, KH Nawawi Banten ibarat batu permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda.
Karya terbaru yang juga mengulas sisi lain pemikiran KH Nawawi Banten telah dihadirkan oleh anak negeri ini. Ia adalah Mamat S Burhanuddin—lulusan terbaik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2003. Buku ini—yang pada mulanya adalah disertasi—berjudul “Hermeneutika Alqur’an Ala K.H Nawawi Banten; Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten”. Karya ini terbilang menarik, karena sudut analisa yang disajikan berbeda dengan buku-buku lainnya. Buku ini lebih menghususkan kajian diseputar hermeneutika dalam kitab tafsir Marah Labid.
Disamping itu, karya ini mengulas sejarah tradisi awal hermeneutika Alqur’an di Indonesia yang dimulai dari Trajuman al-Mustafid karya Abd Rauf al-Singgili seorang ulama sufi dari Aceh pada pra abad 20 sampai perkembangan hermeneutika al-Qur’an abad 20.
Dari hasil penemuan Mamat S Burhanuddin, dikatakan bahwa tafsir Marah Labid karya KH Nawawi Banten memiliki karakteristik hermeneutika tersendiri sesuai dengan ciri sosio-historis dimana ia hidup. (h. 213)
Jika mengacu pada konsep Richard E. Palmer yang membagi hermeneutika ke dalam dua katagori yakni Understanding dan Hermeneutical Problem, maka menurut Mamat, tafsir Marah Labid cenderung mengarah pada upaya pemahaman teks ayat Alqur’an yang sedikit banyak dipengaruhi unsur subjektivitasnya sebagai seorang guru yang moderat, intelektual yang tengah merespon perkembangan zaman, seorang mujaddid tanpa menafikan ulama salaf, seorang yang kecewa dengan kondisi politik ditanah airnya. Hermeneutika Nawawi telah menempatkan Alqur’an sebagai teks terbuka yang siap berdialog dengan konteks masyarakat pembaca sehingga bermakna bagi umatnya. KH. Nawawi berhasil menghadirkan Alqur’an “hidup” dalam irama problema kehidupan manusia di masanya. (h. 214).
Konsep hermeneutika dari tafsir Marah Labid yang menarik menurut Mamat adalah adanya pengakuan pluralisme pemahaman. Menurut KH Nawawi, perolehan hikmah nadzariyah dan amaliyah yang berbeda sesuai dengan usaha setiap pembaca teks Alqur’an memberi implikasi perbedaan pemahaman. Mencari makna yang benar-benar objektif menurut KH Nawawi sulit didapatkan oleh seorang penafsir, karena makna objektif hanya dapat diketahui oleh pemilik teks yakni Allah swt semata. Karena itu, yang berhak men-tafsir-kan hanya Allah. Manusia hanya dapat berspekulasi memahami Alqur’an melalui simbol teks bahasanya.
Dilihat dari objek kajiannya, buku ini sangat menarik yakni mengulas model hermeneutika tafsir Marah Labid. Akan tetapi, sangat disayangkan, buku ini tidak melakukan elaborasi secara maksimal bagaimana pengaruh hermeneutika dari tafsir Marah Labid dalam dunia pesantren. Objek kajian yang terakhir ini dirasa perlu, mengingat karya tafsir ini dijadikan rujukan penting dan utama dalam dunia pesantren.
Disamping beberapa kekurangan di atas, buku ini mempunyai beberapa kekurangan lain terutama dalam masalah editing yang kurang bagus, peletakan tanda baca yang kurang pas. Sangat disayangkan, buku yang begitu bagus ini harus cacat karena hal yang sifatnya tidak substansial akan tapi mengganggu proses pemahaman.
Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bagaimanapun kehadiran buku ini patut disambut baik, karena dengan begitu pengenalan seputar sosok dan pemikiran KH Nawawi Banten akan semakin sempurna. Selamat membaca !

K. Muhammad Hakiki
Peneliti di Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), Universitas Mathla’ul Anwar.

** Pluralisme

Me-realitas-kan Pluralisme; Belajar Dari Mohamed Fathi Osman




Judul : Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan; Pandangan Alqur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban
Judul Asli : The Childern of Adam; An Islamic Perspective on Pluralism
Penulis : Mohamed Fathi Osman
Penerbit Paramadina, Jakarta
Terbit : Cetakan I, November 2006
Tebal: ivix + 134 Halaman


“Aku lebih berhak atas Isa putra Maryam di dunia dan akhirat.
Para Nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda ”
(HR: Bukhari)

Pernyataan Nabi di atas jika di renungkan nampaknya cukup bagi kita—meskipun tanpa melongok teks-teks lain—untuk menyadarkan rasa keangkuhan yang selalu menyelimuti benak dan alam pikiran yang selama ini menganggap yang beda—baik itu dalam masalah keyakinan, pendapat atau hal lainnya –sebagai yang salah, sesat. Tapi kenapa, seakan-akan kita tak percaya terhadap ucapan suci Tuhan sendiri atau Nabi-Nya yang selalu mengajarkan akan pentingnya hidup rukun, damai tanpa ada permusuhan. Mungkinkah kita termasuk dalam katagori orang munafik, me-wirid-kan sabda tuhan, akan tetapi mengabaikan pesannya?.

Konflik-konflik yang muncul dtengarai penyebabnya adalah faktor agama, agama dijadikan sebagai “kambing hitam” yang memunculkan berbagai macam konflik, sehingga tidak salah jika seorang tokoh beraliran sosialis yakni Karl Mark mengatakan bahwa “religion is the opium of the people” (agama adalah candu masyarakat) artinya bahwa agamalah yang selalu membuat terlena dan memunculkan permasalahan di masyarakat. Dari klaim di atas muncul pertanyaan: betulkah semua itu (konflik) terjadi disebabkan oleh agama? Kalau memang betul setiap agama membawa pesan-pesan perdamaian lalu siapa yang salah, agama atau penganut agama sendiri?

Kalau agama yang dijadikan sebagai penyebab munculnya konflik—rasanya tak mungkin—masa Tuhan sebagai sosok yang kita sembah dan dimintai petunjuknya mencintai kerusakan. Lantas, kalau begitu mungkin penganutnya, yang sok tau, sok benar, sok merasa penyambung “lidah” Tuhan sehingga dengan seenaknya mengumbar kata-kata tanpa pertanggung jawaban. Perang suci-lah, jihad-lah, dan tetek bengek lainnya.

Menarik merenungkan ungkapan Charles Kimball, dalam bukunya “Kala Agama Jadi Bencana”. Ia menyebutkan setidaknya ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama menjadi busuk dan korup (rusak) ditangan penganutnya.

Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini terjadi, agama tersebut akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya.

Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin dan keagamaan mereka. Ketiga, adalah bahwa agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Memang agama pada hakikatnya juga merupakan semacam harapan bahwa di masa depan para pemeluknya akan memperoleh dan mengalami sesuatu yang ideal. Zaman ideal itu menurut Kimball adalah berlawanan dengan zaman sekarang, karena pemeluk agama sekarang hidup penuh dosa-dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-siaan.

Keempat, apabila agama di tangan penganutnya membenarkan dan membiarkan terjadinya "tujuan yang membenarkan berbagai cara". Kelima, agama dengan mudah menjadi korup karena menjadikan komponen religius--sebenarnya hanyalah sarana--menjadi tujuan. Penemuan Kimball bisa dibenarkan karena itulah yang terjadi akhir-akhir ini terutama dinegara kita—Indonesia.

Diakui atau tidak, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyak muncul pertikaian baik itu dilingkungan intern atau ekstern agama. Hal tersebut bisa dilihat dengan berbagai lahirnya aliran-aliran, faham-faham yang terkadang memunculkan konflik yang berkepanjangan, seperti misalnya perpecahan yang berkaitan tentang theologi ditubuh agama Islam, misalnya; antara Syi’ah dan Sunni, penyesatan Ahmadiyah, atau berbagai konflik lainnya seperti isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) yang akhir-akhir ini terjadi ditanah air kita.

Berbagai cara dan solusi telah ditawarkan untuk meredam konflik itu; ada yang melalui tulisan—baik buku atau tuisan ringkas dimedia—, dialog agama, seminar, dan cara lainnya.

Cak Nur dan Fathi Osman berbicara pluralisme
Diantara solusi yang ditawarkan adalah pentingnya paham pluralisme. Wacana tentang pluralisme kian terus bergulir di Indonesia, dan wacana ini kerapkali dikaitkan dengan kerukunan antar-umat beragama. Berbagai macam tulisan telah hadir baik itu yang menerima maupun yang menolaknya. Diantara mereka yang menerima dan ikut serta mengkampanyekan paham ini adalah Cak Nur, dan Mohamed Fathi Osman (Guru Besar pada Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC) dalam bukunya “The Childern of Adam; An Islamic Perspective on Pluralism” yang hadir dihadapan kita ini.

Menarik untuk membincangkan gagasan pluralisme kedua tokoh ini, mengingat, kedua tokoh ini sangat intens mengkampanyekan pentingnya pluralisme sebagai langkah solusi atas berbagai konflik yang muncul.

Gagasan pluralisme Cak Nur yang dikenal sebagai “Bapak Bangsa” sering disebut oleh kalangan penganut filsafat parenial sebagai “Kesatuan transenden Agama-agama”. Semenjak kehadirannya, gagasan Cak Nur ini telah menjadi isu nasional dan telah memicu fatwa MUI untuk “mengharamkan” pemikiran pluralisme. Fatwa itu memang mengherankan, padahal—yang dimaksud Cak Nur— sebenarnya dasar teologis pandangan kesatuan dan kesamaan agama-agama itu ada pada tingkat transenden (esoteric atau hakikat), bukan pada tingkat imanen (syari’at).

Akan tetapi “nasi sudah menjadi bubur” paham pluralisme sudah kadung diharamkan, sehingga kesan yang muncul di masyarakat, pluralisme dianggap sebagai paham yang mencampuradukan agama-agama. Dan hal ini, bagi sebagian orang dapar merusak kemurnian agama tersebut.

Kondisi ini bagi Cak Nur sangat disayangkan, karena menurutnya, jika saja bangsa Indonesia mau memahami pluralisme dengan baik, dan menanamkan dalam kesadaran kaum Muslimin yang merupakan mayoritas penghuni bangsa ini, maka akan banyak segi manfaatnya yang dapat diambil dalam uasaha transformasi sosialnya dalam mewujudkan demokrasi, keadilan. Cak Nur mengatakan;

“Pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (the keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci bahkan disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia” sebagaimana sabda Allah dalam (QS: 2: 251)”.
Hal senada pun diungkapkan Fathi Osman dalam buku ini, ia mengatakan tentang pluralisme “sebagai bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampau ketiadaan konflik. Pluralisme, di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dengan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mngembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan ataupun perolehan. Begitu pula, pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Setiap kelompok seharusnya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia Internasional. (h. 2-3).
Dari ungkapan di atas, jelas sekali antara Cak Nur dan Fathi Osman sama-sama menegaskan bahwa pluralisme adalah bagian penting dari peradaban yang secara teologi didasarkan pada konsep kesamaan (common platform atau kalimatun sawa’) agama-agama.
Hal menarik—yang dapat dibaca—dari buku ini adalah sajian Fathi Osman tentang masyarakat Islam tempo dulu yang justru menerima dan mempraktekan prilaku pluralis bukan saja terhadap mereka yang berpaham beda, akan tetapi, kepada mereka yang berkeyakinan tak sama seperti kepada masyarakat Yahudi, Nashrani, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Ia menyebutkan;
“Non-muslim di wilayah muslim menjalankan profesinya dalam kegiatan ekonomi mereka dengan bebas. Mereka ada yang menjadi penukar uang, pengusaha, tuan tanah dan tabib. Sebagian penukar uang dan para penghubung di Syiria adalah orang Yahudi, sementara kebanyakan tabib dan juru tulis adalah orang-orang Yahudi. Yahudi-yahudi lain mencari nafkah hidup sebagai tukang jahit, tukang celup, dan perajin lainnya. Pemimpin Nashrani di Bagdad adalah tabib Khalifah, dan masih banyak Yahudi yang mendapatkan posisi di istana Khalifah. Bahkan Khalifah Fatimiah al-Aziz mempunyai seorang menteri Nashrani dan menunjuk seorang Yahudi sebagai Gubernur di Siria”. (h. 63-64).
Dalam lapangan dunia pengetahuan dan peradaban pun dapat kita contoh bagaimana umat Islam, Yahudi, Nashrani saling hidup damai. Fathi Osman menceritakan;
“Para Khalifah mengirimkan utusan khusus ke Konstansinopel untuk mengkopi manuskrip-manuskrip Yunani yang penting untuk tujuan penerjemahan mereka ke dalam bahasa Arab. Berbagai kasus tercatat di mana para duta besar Khalifah membuat ketentuan-ketentuan dalam risalah-risalah damai dengan Byzantium untuk menyerahkan manuskrip-manuskrip Yunani tertentu kepada bangsa Arab. Dapat ditegaskan bahwa akademi al-Makmun di Baghdad adalah kebangkitan kembali yang nyata yang pertama dari atmosfer yang dipelajari di museum Alexandria yang telah lama hancur. Selama kira-kira lima abad, pemikiran bangsa Arab mencapai ketinggian yang di luar dugaan dan kita dapat melihat dua puncak budaya Islam, di wilayah Timur di Baghdad dan wilayah Barat di Andalusia memiliki pengaruh pada kemajuan dunia di berbagai departemen studi-studi seperti ilmu-ilmu pasti, astronomi, kedokteran, seni, dan lain sebagainya”. (h. 69-70)
Penemuan Fathi Osman tersebut diamini oleh Bernard Lewis yang pernah menulis bagaimana sejarah kerjasama yang sangat beradab yang dilakukan antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi dan Nashrani di Andalusia (Spayol). Ia menambahkan bahwa tidak ada kerjasama yang harmonis, di dunia Barat pada waktu itu, juga di dunia Islam pada masa kemudian—ketika nilai-nilai pluralisme mulai memudar dalam pandangan muslim paska peradaban klasik. (h. xv).
Pluralisme sebagai agama baru ?
Akan tetapi, sangat disayangkan, gagasan yang begitu mulya dan mendapat justifikasi teologis agama-agama harus terabaikan, bahkan yang lebih ironis lagi, gagasan tersebut harus mendapatkan kritikan dan perlawanan. Mereka menganggap pluralisme adalah “racun” agama kalau tidak dikatakan penyakit bagi agama karena akan merusak sendi-sendi fundamental dari agama.
Diantara mereka yang melakukan kritik-an terhadap gagasan pluralisme adalah Anis Malik Taha, yang menulis Disertasi “Ittijaahat al-Ta'addudiyyah al-Diniyyah wa al-Mauqif al-Islamiy minha”. Dalam bukunya tersebut, Ia mengkritik kaum pluralis yang katanya menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). Ia mengibaratkan kaum pluralis layaknya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola, tapi dalam waktu yang sama wasit yang seharusnya memimpin pertandingan malah ikut main. Dan ini kan repot jadinya. Mereka mestinya tahu aturan dan batasan-batasan main yang benar, kalau memilih jadi wasit, jadilah wasit yang adil, dan kalau memilih jadi pemain, ya jadilah pemain yang benar.
Atas dasar itu, maka Anis menyimpulkan bahwa Pluralisme agama adalah agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Sebagaimana humanisme juga merupakan agama, dan tuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang dikatakan August Comte. Dan dalam hal ini John Dewey (seorang filosof Amerika) mengatakan demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai-nilai demokrasi.
Terlepas dari kritikan, fatwa haram MUI dan bantahan di atas, bagaimanapun, gagasan pluralisme harus tetap disuarakan, mengingat gagasan ini tidak berangkat dari ruang hampa atau kosong. Gagasan ini tidak hanya realistis atas kondisi kemajemukan di dunia ini, akan tetapi juga, gagasan pluralisme mempunyai nilai-nilai justifikasi dari kitab suci. Tidak ada solusi yang dicapai dengan kekerasan.
Sebagai kata akhir, dengan hadirnya buku ini sebagai cenderamata dari Milad ke-20 Paramadina menarik untuk di baca. Disamping itu, di usianya yang ke 20 tahun, diharapkan Paramdina sebagai “motor” penggerak, penyuara gagasan-gagasan yang humanis, inklusif, pluralis, dan pencerdas generasi bangsa tak bosan-bosannya untuk terus menyuarakan gagasan yang begitu mulya itu. Dengan begitu, dihrapkan Islam yang kini sedang terpuruk dengan berbagai kecaman negatif seperti; redikal, ekslusif, garis keras, teroris, akan terobati. Semoga !,. Wallahu a’lam.




K. Muhammad Hakiki
Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta







** Perlindungan Hutan

Perlindungan Hutan; Wujud Bela Negara

Oleh:
K. Muhammad Hakiki, MA
Pemerhati Lingkungan, tinggal di Banten

Seluruh alam raya beserta isinya diciptakan oleh Tuhan hanyalah untuk manusia. Karena alam raya adalah merupakan wahyu Tuhan yang tidak tertulis di samping wahyu yang diturunkan secara tertulis yakni kitab suci. Keberadaan wahyu tuhan itu (baca: alam) hendaklah kita pelihara dari hal-hal yang menyimpang laksana kita memelihara kitab suci sebagai amanat Tuhan.

Kehidupan manusia dengan seisi alam ini tak dapat dipisahkan karena kesemuanya saling keterkaitan. Jika antara salah satu pihak mengalami gangguan, maka makhluk lainnya yang berada dalam lingkungan itu ikut merasakan gangguan tersebut. Karena Tuhan menciptakan alam ini dengan keseimbangan dan keserasian. Karena itu menjaga keseimbangan dan keserasian itu adalah wajib hukumnya agar tidak mengakibatkan kerusakan.

Salah satu keseimbangan yang harus di jaga adalah hubungan antara manusia dengan keberadaan hutan (baca: pohon). Karena Hutan adalah sekumpulan pepohonan yang mampu menghasilkan kayu, buah, untuk keberlangsungan hidup manusia. Jika manusia tak bisa menjaga hutan dengan baik, maka, ketimpangan yang akan mengakibatkan kerugian antara keduanya tinggallah menunggu waktu.

Akan tetapi nampaknya kita tidak menyadari akan ketentuan saling ketergantungan di atas. Pemenuhan kebutuhan yang sifatnya sesaat selalu menjadi pilihan utama untuk dilakukan. Kita tak pernah berfikir bahwa keberlangsungan hidup manusia di masa yang akan datang adalah tergantung dengan apa yang dilakukan oleh manusia yang hidup di masa kini. Keturunan kita yang akan lahir dan hidup di masa yang akan datang akan mengalami kesengsaraan jika saja kita yang hidup di masa kini tak bisa mempersiapkan kebutuhan hidup mereka dengan menjaga keseimbangan alam itu, begitu sebaliknya.

Tapi apa yang terjadi, nampaknya kebanyakan kita lebih memilih kenikmatan sesaat dengan melakukan perusakan tanpa memperdulikan nasib keturunan kita kelak. Hampir disetiap daerah usaha penggundulan hutan nampaknya menjadi tradisi atau bahkan "ritual" wajib untuk dilakukan dengan sejuta alasan. Konsekwensi dari itu semua jika delakukan dengan tanpa perhitungan maka dengan tidak menunggu waktu lama musibah dalam bentuk bencana alam, seperti; banjir, longsor, gempa, dan sebagainya nampaknya semakin betah menghinggapi negeri tercinta ini.

Upaya untuk menjaga kelestarian alam Indonesia dalam hal ini menjaga keutuhan hutan tidak hanya diamanatkan kepada rakyat Indonesia yang tinggal disekitar areal hutan, akan tetapi juga kepada kita semua dan pihak pemerintah dalam hal ini Departemen kehutanan juga ikut serta menjaga kelestarian hutan itu. Hutan bukan hanya milik pribadi, kelompok, suku, akan tetapi milik bangsa Indonesia dalam hal ini rakyat Indonesia.

Dalam usaha menjaga kelestaria hutan Indonesia, pihak pemerintah haruslah lebih tegas baik dalam usaha menjaga kelestarian hutan maupun bagi mereka (individu, kelompok, aparatur pemerintah) yang mencoba mengganggu dan merusak keseimbangan ekosistem alam. Usaha kearah itu nampaknya sedikut menuai harapan dengan dikeluarkannya kebijakan dari Departemen Kehutanan yang menetapkan payung hukum yang berisi lima kebijakan prioritas pembangunan kehutanan 2005-2009 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 456/Menhut-VII/2004, yaitu; pertama, Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal; kedua, revitalisasi sektor kehutanan khususnya idustri kehutanan; ketiga,rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; keempat, pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; kelima, pemantapan kawasan hutan.

Mudah-mudahan dengan adanya kebijakan tersebut pihak pemerintah betul-betul mengaplikasikannya dalam dunia nyata, tidak hanya sebatas teori atau janji belaka. Berbagai usaha yang sifatnya merugikan negara dan orang banyak; siapapun dia hendaknya betul-betul mendapatkan ketentuan hukum yang mempunyai efek jera. Karena jika tidak, aparatur penegak hukum yang menangani hal itu, laksanana seperti pencuri yang mencuri dirumahnya sendiri atau pembunuh yang membunuh anaknya sendiri.

Menjaga hutan; Wujud Bela Negara

Kewajiban untuk bela negara kerapkali selalu dikaitkan dengan militer. Mereka yang selalu siap untuk mengangkat senjata adalah orang yang paling berhak untuk selalu siap membela negara. Padahal kalau kita sadari bahwa tidak hanya itu, cinta tanah air dalam bentuk mengisi hari kemerdekaan dengan menjaga keutuhan tanah airnya seperti menjaga hutan adalah juga salah satu bentuk wujud dari bela negara. Tugas ini tidak hanya dibebankan pada mereka yang hidup berada di sekitar areal hutan, akan tetapi juga pada seluruh rakyat Indonesia. Karena seluruh isi alam ini termasuk di dalamnya adalah pepohonan merupakan sarana untuk keberlangsungan hidup manusia.

Wujud bela negara yang bisa dilakukan oleh kita tidak hanya menangkap para pelaku tindak kejahatan bidang kehutanan, seperti illegal logging atau illegal trade, akan tetapi juga menjaga isi dan keutuhan luas wilayah hutan yang berbatasan dengan wilayah tetangga adalah juga merupakan wujud bela negara lainnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang 1945 pada pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa "hutan adalah merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".

Sesuai dengan pasal tersebut, luas wilayah hutan negara Indonesia yang harus di jaga dari kerusakan mencakup 120.35 juta Ha (62% dari daratan Indonesia) yang terdiri dari hutan lindung seluas 33,52 juta Ha, hutan produksi 66,33 juta Ha, dan hutan konservasi 20, 50 juta Ha.

Untuk mengatasi kerusakan hutan, Departemen Kehutanan telah mengambil langkah-langkah nyata yang strategis yang dituangkan dalam lima kebijakan prioritas di atas. Berbagai macam bentuk upaya rehabilitasi telah dilakukan seperti; Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Gerakan Indonesia Menanam, Program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) sebagai upaya untuk mempercepat gerakan Gerhan.

Dengan beberapa program di atas dan tentunya tidak sebatas itu, diharapkan usaha pelestarian di atas betul-betul terbukti. Karena bagaimanapun mengembalikan kondisi hutan seperti sediakala betul-betul membutuhkan waktu dan kesadaran yang tidak sedikit. Usaha rehabilitasi hutan adalah merupakan program yang sangat mendesak untuk di lakukan mengingat kondisi hutan yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini dalam kondisi sangat yang memperihatinkan. Lihat saja dari data menteri kehutanan pada tahun 2000 jumlah kerusakan hutan Indonesia mencapai 59 juta Ha dengan Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta Ha/pertahun, sedangkan pada awal era reformasi saja ( 1997-2000) kondisi itu semakin di perparah menjadi 2,8 juta Ha/pertahun.

Jika kondisi di atas terus dibiarkan, maka bangsa Indonesia yang dikenal sebagai daerah tropis, sejuk, segar, damai, terkenal karena kekayaan hayati dan nabati tinggallah menjadi kenangan. Bahkan lebih parah dari itu, mungkin saja bangsa Indonesia tinggal menjadi nama.

Karena itu tak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mencegahnya selain menumbuhkan sikap kesadaran bagi kita akan saling memiliki dan mencintai hak milik kita ini (baca: hutan) yang merupakan kebanggaan negeri kita.

Tidak hanya itu, usaha partisipasi aktif—dalam dunia nyata—seluruh komponen baik itu masyarakat maupun pemerintah di dalam melakukan pelestarian dan perlindungan hutan. Dengan cara itu, maka yakinlah kawasan hutan yang kita miliki ini akan tetap lestari bukan hanya sebagai bekal hidup kita di masa kini saja akan tetapi juga dapat dijadikan sebagai warisan bagi keturunan-keturunan kita di kemudian hari, mudah-mudahan.Wallahu a'lam.

Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini surat kabar Fajar Banten dalam rangka memperingati hari Hutan 2007

** Pusat sujud ini bernama Ka'bah

Pusat Sujud Itu Bernama Ka’bah

Oleh : K. Muhammad Hakiki
Alumni Santri Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


“Labbaik, Allahumma labbaik”.
“Inilah aku Ya Allah, datang menemui panggilan-Mu”.


Itulah sepenggal kalimat yang sering dibaca oleh mereka yang sedang menjalankan ibadah haji. Sebuah kalimat yang diucapkan sebagai tanda rasa syukur karena dirinya telah menjadi pilihan Allah dan terdaftar sebagai kontestan upacara kolosal tahunan itu dalam rangka memperoleh “titel” haji mabrur yang balasannya adalah surga sebagamana hadits Rasulullah saw “…tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” (HR: Bukhari).

Haji yang secara harfiah berarti ber-ziarah. Yaitu menziarahi tempat-tempat suci yang tidak terbatas hanya pada kota Makkah dan Madinah melainkan juga meliputi ‘Arafah, Mina, Muzdalifah, dan tempat-tempas suci lainnya. Lantas apa yang menarik dari tempat suci-suci itu, al-Qur’an dalam hal ini menjelaskan bahwa tempat-tempat suci itu adalah monument-monument Allah, sebagai cerminan dari ketaqwaan hati. Adanya monument itu karena adanya peristiwa yang menyangkut ketaqwaan.

Diantara tempat suci yang biasanya dikunjungi para jama’ah haji adalah sebuah bangunan suci yang ada di kota Madinah, masjid Qiblatain (masjid dengan dua kiblat) namanya. Menurut sejarah, masjid ini pada awalnya adalah sebuah rumah. Di rumah inilah Nabi Muhammad saw pernah melakukan sholat zhuhur. Menariknya, ketika Nabi sholat zhuhur, ia menghadap ke dua arah; dua roka’at pertama ia menghadap ke Yerusalem dan pada dua raka’at ke dua ia menghadap ke Masjid Haram di Makkah. Tekhnik sholat itu ternyata atas petunjuk langsung dari Allah sendiri. Merasa tekhnik sholat yang dilakukan oleh Nabi terasa merepotkan, Nabi pun melakukan “protes”. Ia pun berdo’a agar arah iblat diagantinya hanya menghadap ke Ka’bah yang ada di Masjid Haram. Dan Allah pun mengabulkannya. Sekedar pemberitahuan bahwa ketika Nabi berada di Makkah sebelum hijrah, ibadah sholat Nabi sebenarnya menghadap ke dua arah yakni Yerusalem dan Ka’bah sendiri. Akan tetapi, karena posisi Nabi ketika sholat selalu berada di sebelah selatan Ka’bah, maka secara otomatis Nabi pun menghadap Ka’bah sekaligus juga menghadap ke Yerusalem.

Kondisi itu berubah ketika Nabi ber-hijrah ke Madinah, pasalnya letak kota Makkah berada di sebelah selatan, sedangkan Yerusalem berada di utara. Dengan kondisi wilayah yang berlawanan arah tersebut, maka Nabi pun harus membelakangi ka’bah ketika sholat menghadap ke Yerusalem.

Yang menarik dari fenomena tersebut dan hal ini yang akan dilacak akar sejarahnya adalah, mengapa Allah mengabulkan pinta Nabi untuk menghadap Ka’bah saja? Dan menghapus arah ke Yerusalem?.

Makkah versus Yerusalem

Jika melihat dari sejarah kedua tempat suci itu, pada masa Nabi keduanya bukanlah tempat yang suci; ka’bah pada waktu itu dipenuhi patug-patung sebagai alat sesembahan masyarak Makkah, sedangkan Yurusalem adalah tempat pembuangan sampah. Menurut Cak Nur, dijadikannya Yerusalem sebagai tempat pembuangan sampah atau pelbak adalah bentuk penghinaan orang-orang Kristen terhadap bangsa Yahudi atas perintah dari Helena, ibunda dari Konstantian yang baru memeluk agama Kristen.

Dua tempat—yang pada awalnya bukanlah tempat yang suci—itu kemudian kini menjadi tempat yang disucikan. Lantas pertanyaannya mengapa Nabi atas perintah Allah harus melakukan sholat dengan dua arah?, dan mengapa pada masa kemudian Nabi lebih memilih arah Ka’bah sebagai pusat bersujud hamba Allah? Disinilah menariknya menelusuri jejak historis kedua tempat suci itu.

Jika mengacu pada pernyataan al-Qur’an sendiri: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS: Ali-Imran: 69). Ayat ini bisa dijadikan bukti teologis bahwa Ka’bah-lah sebagai tempat suci Allah yang pertama sebelum adanya Yarusalem

Menurut lagenda, manusia yang membangun Ka’bah adalah Nabi Adam as ketika ia harus “terusir” dari surga. Pada saat itu, Nabi Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah. Kesedihan yang menimpa Nabi Adam pun kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia membangun Ka’bah sebagai bentuk tiruan dari ‘Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai, Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa ritual thawaf yang dilakukan para pelaku ibadah haji sebenarnya meniru cara ibadah yang dilakukan para Malaikat mengelilingi ‘Arsy.

Bangunan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Seiring dengan sirnanya bangunan Ka’bah, sirna pula tradisi bertawaf bagi manusia. Kemudian datanglah Nabi Ibrahim as yang berputra Nabi Ismail as membangun kembali Ka’bah yang tertimbun atas petunjuk Allah: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".( QS: Al-baqarah : 127).

Berbeda dengan sejarah Ka’bah di atas, sejarah tempat suci Yerusalem lebih rumit. Hal itu bermula dari Nabi Ishaq yang merupakan anak dari istri pertama Nabi Ibrahim yakni Sarah. Sedangkan Nabi Ismail adalah anak dari istri kedua Nabi Ibrahim yakni Hajar. Melalaui keturunan Nabi Ishaq banyak sekali diturunkan Nabi-Nabi dan melalui jalur Ismail hanya ada satu Nabi yakni Nabi Muhammad saw.

Dalam al-Qur’an terdapat istilah al-Asbath yang artinya suku-suku Isra’il melalui jalur Nabi Ishaq. Diantara Nabi keturunan Nabi Ishaq adala Nabi Musa. Nabi Musa-lah yang kemudian menerima wahyu dari Allah yang dikenal dengan “Sepuluh Perintah Tuhan”. Menurut sejarah, Nabi Musa-lah yang kemudian diberikan tugas oleh Allah untuk membebaskan bani Israil dari perbudakan Raja Fir’aun di Mesir yakni Ramses III. Karakter bani Israil yang keras membuat Tuhan harus mentrainingnya di bukut Sinai selama 40 hari. Watak yang keras dan sulit diatur membuat Nabi Musa harus membuat hukum-hukum yang keras pula, karenanya hukum-hukum yang tercermin dalam kitab Taurat-pun keras, seperti; mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa.

Karakter keras dari Bani Israil membuat Nabi Musa harus menuliskan naskah perintah yang sepuluh itu diatas batu dan dimasukan ke dalam kotak. Kotak yang berisi sepuluh perintah itu kemudian dinamai Tabut al-‘Ahd (kotak perjanjian) yang dalam al-Qur’an disebut dengan mitsaq (QS: al-Maidah : 12).

Kotak tersebut yang kemudian dijadikan sebagai kiblat oleh bani Israi’l (orang-orang Yahudi) diletakkan di tengah Khaymat al-Ijtima’ (Tabernakel) sebuah kemah untuk pertemuan. Orang-orang Yahudi sampai saat ini melakukan sembahyang kearah Tabernakel itu yang berisi “sepuluh Perintah Tuhan”.

Keberhasilan Nabi Musa memerdekakan bani Israil membuat ia bangga dan sedikit sombong. Dan kemudian Tuhan pun menegurnya dengan mengatakan bahwa ada seorang yang lebih hebat darinya, ia pun tak percaya. Maka Tuhan menyuruhnya pergi ketepi pantai untuk menemui orang yang dimaksudkan oleh Tuhan tersebut. Nabi Musa pun bertemu dengan seorang pemudia berbaju compang-camping, ia yang kemudian dikenal dengan Nabi Daud atau menurut bangsa Yahudi adalah Yusac.

Nabi Daud itulah yang kemudian meneruskan risalah Nabi Musa. Ia pun membawa bani Israil ke Kan’an. Kan’an inilah yang kemudian dikenal dengan Yarusalem atau Baytul Maqdis. “Sepuluh Perintah Tuhan” yang diletakkan Nabi Musa di Tabernakel itu pun dipindahkan oleh Nabi Daud ke bukit Moria yang kemudian dikenal dengan the Holy of Holies sebuah tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya Nabi Muhammad sebelum dipindahkan arahnya ke Ka’bah di Makkah.

Setelah Nabi Daud wafat, kemudian diteruskan oleh Nabi Sulayman as. Nabi Sulayman dalam sejarah dikenal sebagai raja yang agung dan memiliki harta yang melimpah. Untuk mengenang kemashurannya, ia pun kemudian mendirikan bangunan yang megah yang diberinama Masjid Aqsha yang dibangun 900 tahun sebeum Masehi. Di Masjid yang agung itulah the Holy of Holies diletakkan.

Sebagai kata akhir, jika kita hitung dari sejak dibangunnya kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim as, yang terjadi 4000 tahun yang lalu, hal itu berarti umur Ka’bah 1000 tahun lebih tua dari the Holy of Holies sendiri yag ada di Yerusalem. Dan hal ini sangat logis jika Allah mengabulkan perintaan Nabi Muhammad untuk memindahkan arah kiblatnya ke Ka’bah karena memang umur Ka’bah jauh lebih tua dari the Holy of Holies sendiri sebagai kiblat orang-orang Yahudi. Tapi, meskiun begitu, sesuai dengan data histories di atas, antara umat Islam dan bangsa Yahudi adalah satu bapak lain ibu. Dan mengapa kita harus saling membenci. Wallahu a’lam.


Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom opini Radar Lampung 12 Desember 2006

Sabtu, 24 Oktober 2009

** Jejak Tradisi Maulid

Menelusuri Jejak Tradisi Perayaan Maulid

Oleh: Muhammad Hakiki, MA
Alumni Pascasarjana Studi Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Mendengar istilah “maulid” bagi kalangan Muslim tidaklah asing. Karena istilah ini selalu muncul tiap tahun dan selalu diperingati dengan meriah oleh umat Islam.

Jika dilihat dari sisi etimologi, Istilah “maulid” merupakan berasal dari kata bahasa Arab w-l-d yang berarti “kelahiran”. Kata ini biasanya disandingkan atau dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw. Maulid Nabi Muhammad berarti usaha memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad yang dilakukan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia kecuali di Arab Saudi hingga kini.

Akan tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, dengan memakai pengertian yang lebih populer, maka kata “maulid” biasa dikaitkan dengan peristiwa peringatan hari kelahiran seorang yang suci—baik itu laki-laki maupun perempuan, baik ia Muslim, Yahudi, atau pun Kristen, yang sudah meninggal. Misalnya perayaan maulid Syaikh Abu Hasira yang dirayakan oleh orang Yahudi yang sampai saat ini masih populer dilakukan. Bagitu juga dalam agama Kristen juga dilakukan perayaan maulid bagi kematian orang suci di kalangan mereka.

Dalam kesempatan kali ini bertepatan dengan peringatan Milad Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal—meskipun ada juga yang berpendapat pada tanggal 13 Rabiulawal--, jutaan kaum Muslim terutama di Indonesia merayakannya dengan sangat meriah, bahkan tak jarang, di antara mereka menganggap bahwa perayaan ini adalah sebuah tradisi yang bernilai sakral. Orang Indonesia biasa menyebutnya dengan tradisi muludan.

Perayaan maulid Nabi bagi orang Indonesia dilakukan dengan cara beraneka ragam, ada yang memperingatinya dengan cara mengundang seorang tokoh agama atau da’i untuk menceritakan seputar kelahiran Nabi Muhammad, ada juga masyarakat Indonesia dan biasanya hal ini dilakukan di tingkat pedesaan, merayakannya dengan membuat aneka ragam makanan yang dikumpulkan kemudian diiringi dengan pembacaan do’a-do’a, dan masih banyak lagi ragam lainnya.

Terlepas dari itu semua, yang pasti, bagi umat Islam Indonesia sendiri, perayaan maulid Nabi adalah termasuk dalam katagori hari besar Islam yang harus diperingati dan dihormati. Bagi pemerintah Indonesia, bentuk penghormatan terhadap maulid itu sendiri diberikan hari libur nasional dengan tanda merah pada setiap kalender.

Dalam kesempatan kali ini, sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad, saya akan mencoba menyajikan hasil penelusuran seputar sejarah asal mula perayaan maulid Nabi itu sendiri. Dengan cara seperti ini diharapkan masyarakat akan mengetahui sisi historis dari tradisi yang mereka “ritualkan” setiap tahunnya ini.

Asal Mula Perayaan Maulid
Mengenai sejak kapan perayaan maulid pertama kali dilakukan, para ilmuan Islam banyak berbeda pendapat. Akan tetapi, dari penelusuran penulis berdasarkan data yang ditemukan, bahwa asal mula perayaan maulid dilakukan oleh kalangan penganut mazhab Syi’ah yang saat itu berada pada masa dinasti Fatimi di Mesir ketika dipimpin oleh Khalifah al-Mu’izz li al-Din Allah (341 H). Menurut al-Sundubi sebagaimana yang dikutip oleh Nico Kaptein dijelaskan bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh Khalifah Fatimi saat itu bertujuan ingin mencoba membuat dirinya lebih populer di kalangan rakyat dengan memperkenalkan beberapa perayaan diantaranya maulid Nabi Muhammad saw (1994: 20).

Berbeda bagi kalangan Sunni seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi—seorang ulama kesohor yang dilahirkan di Kairo pada tahun 1445 M.—dalam salah satu karyanyanya yakni “Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-maulid” dijelaskan bahwa awal mula perayaan maulid dilakukan oleh seorang bernama Muzaffar al-Din Kokburi di kota Irbil. Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya “Al-Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh” yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa’id Kokburi Ibn Zain al-Din ‘Ali Ibn Baktakin adalah seorang penguasa yang mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabiulawal dan merayakannya secara meriah. (1932: 136).

Pernyataan ini menarik jika kita bandingkan dengan pendapat yang dianut oleh kalangan Syi’ah di atas. Apa yang membedakan dua kutub itu berbeda pendapat ?. lagi-lagi nampaknya pertentangan keyakinan pemikiran dua kutub itu menjadikan pendapat mereka –sengaja atau tidak— berbeda setu dengan lainnya.

Jika ditelusuri lebih jauh kenapa al-Suyuhti seolah-olah menutup mata akan realita sejarah perayaan maulid Nabi pada masa dinasti Fatimi yang bermazhab Syi’ah. Perlu mendapat analisa lebih jauh di sini.

Jika dengan alasan bahwa al-Suyuthi tidak mengetahui bahwa pada masa dinasti Fatimi pernah terjadi perayaan maulid sangatlah tidak masuk di akal, mengingat ia adalah seorang ulama yang masyhur pada zamannya. Di samping itu, ia pernah menulis sebuah kitab “Husn al-Muhadharah fi tarikh Misr wa al-Qahirah” yakni sebuah kitab yang berisi uraian tentang sejarah Mesir. Sehingga dengan begitu sangatlah tidak mungkin jika al-Suyuthi tidak mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada dinasti Fatimi di Mesir. Di samping itu, salah satu rujukan yang dipakai ketika ia menulis kitabnya adalah kitab “Khitat” karya al-Maqrizi, dan kitab “Mir’at al-Zamaan” karya Sibt Ibn al-Jauzi yang merupakan dua buah kitab yang mengandung uraian seputar perayaan maulid.

Lantas mengapa al-Suyuhti seorang ulama dari mazhab Sunni mempunyai pendapat yang berbeda ? di sinlah menurut hemat penulis sebenarnya al-Suyuthi mengetahui akan perayaan maulid pada masa dinasti Fatimi. Akan tetapi, ia nampaknya menutup-nutupi realita sejarah itu. Pemilihan Muzaffar al-Din Kokburi sebagai orang pertama yang melakukan perayaan maulid mempunyai alasan lain.

Jika kita pahami akan pilihan yang dipakai oleh al-Suyuthi sangatlah wajar mengingat permasalahan tentang maulid adalah sebuah tema yang kontroversial antara dibolehkan atau dilarang. Posisi al-Suyuthi sebagai seorang yang mendapatkan mandat untuk memberikan fatwa prihal maulid adalah sebuah posisi yang penuh resiko. Karena konsekwensinya adalah akan adanya orang-orang yang akan mendukung atau menolaknya.

Bagi kalangan yang menolak perayaan maulid, mereka mengatakan bahwa maulid Nabi Muhammad adalah sebuah perbuatan yang bid’ah karena perayaan ini tidak pernah dijelaskan dalam Al-qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi dan para pengikut selanjutnya.

Alasan pendapat kelompok yang menolak di atas di benarkan oleh al-Suyuthi. Akan tetapi nampaknya ia mencoba mengantisipasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa perayaan maulid bagaimanapun pernah dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi seorang pemimpin yang sangat adil dan terpelajar dan salah satu tujuannya adalah tak lain yakni berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Pemilihan al-Suyuthi terhadap Muzaffar al-Din Kokburi dengan menutupi data sejarah sebenarnya juga karena faktor ketidak cocokan atau bahkan bisa dikatakan kebencian al-Suyuthi terhadap keyakinan akidah yang dianut oleh Syi’ah sebagaimana tertuang dalam karyanya yang lain “Tarikh al-Khulafa”. Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa ia tidak akan membahas dinasti Fatimi karena imamat (konsep kepemimpinan) mereka tidaklah sah dengan alasan; Pertama, garis keturunan mereka diragukan. Bahkan nama dinasti Fatimi juga tidak dibenarkan dan lebih baik jika memakai nama Banu Ubaid. Kedua, kebanyakan Banu Ubaid termasuk orang-orang ateis yang membelot dari Islam. Ketiga, mereka menuntut menjadi Khalifah ketika sudah ada seorang imam. Keempat, mereka melanggar tradisi yang menyatakan bahwa siapa pun yang menyebut diri sebagai Khalifah selama pemerintahan Abasiyah adalah seorang yang tak beriman dan seorang pemberontak.

Jika al-Suyuthi tidak sepakat dengan pendapat Syi’ah, lantas kenapa ia juga tidak mengakui perayaan maulid yang lebih dulu dari Muzaffar al-Din Kokburi yang dilakukan oleh kalangan Sunni sendiri seperti yang dipraktekkan oleh Nur al-Din seorang penguasa Siria yang juga sangat dihormati dan mempunyai reputasi tinggi. Di sinilah lagi-lagi al-Suyuthi betul-betul seorang ulama yang laur biasa. Ia tidak mau menyatakan pendapat yang data sejarahnya tidak komprehensif dan kurang begitu jelas dibandingkan dengan perayaan maulid yang dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi.

Sebagai kata akhir bahwa ternyata perayaan maulid yang kita peringati dengan meriah setiap tahunnya adalah sebuah tradisi yang mempunyai sejarah cukup lama dan sampai saat ini masih dalam kondisi yang dipermasalahkan antara boleh atau tidak. Meskipun begitu, perayaan yang tidak pernah dijelaskan dalam kitab suci ini dan juga tidak pernah dipraktekkan pada masa sahabat Nabi, menurut hemat penulis adalah jenis perayaan yang patut kita jaga dan lestarikan karena dengan perayaan maulid ini kita bisa ambil hikmahnya sebagai media pendekatan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus memupuk rasa kecintaan atas junjungan kita sang pembawa kebenaran yakni Kanjeng Nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam.
Tulisan ini pernah dimuat dalam surat kabar Radar Lampung, kolom opini 04 Maret 2009

** Memilih PTS Berkualitas

Memilih PTS Berkualitas

Oleh:
Muhammad Hakiki, MA
Akademisi dan Peneliti

Jika kita melihat media baik itu elektronik maupun cetak kini sudah “dibanjiri” dengan berbagai promosi iklan berbagai lembaga pendidikan Perguruan Tinggi (PT)—baik negeri maupun swasta. Bahkan tak jarang, untuk menambah daya tarik, berbagai tawaran pun di janjikan, seperti dijamin 100 persen kerja, bahkan yang “lucu” ada sebuah PT yang menawarkan uang akan kembali jika setelah lulus dari PT tersebut tidak dapat bekerja, dan masih banyak lagi tawaran-tawaran lainnya.
Fenomena tersebut wajar karena memang ajaran baru pendidikan sebentar lagi tiba. Karena itu promosi pun dilakukan jauh-jauh hari demi untuk menjaring calon mahasiswa sebanyak-banyaknya.
Maraknya promosi PT tersebut ternyata bagi para siswa yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi justru mulai terjangkiti yang namanya virus kebingungan untuk memilih dimana tempat ia akan melanjutkan studinya. Kebingungan itu semakin menjadi-jadi ketika ia tak bisa masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang di idam-idamkan. Maka, sebagai penggantinya, ia pun mau-tak mau harus memilih perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai alternativnya.
Kebingungan itu semakin kuat ketika banyaknya pilihan PTS yang tersedia. Jika kita memperhatikan laju pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia, maka dewasa ini jumlah PTS dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia—termasuk juga di dalamnya Banten—baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya.
Dengan maraknya PTS tersebut, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian, perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTS tersebut. Artinya sejauhmanakah kualitasnya?. Apakah mereka sudah benar-benar menjadi PT, atau hanya sekedar menjadi lembaga "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh karena itu, melihat keadaan sekarang ini, pengembangan PT menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi jika dikaitkan dengan tugas pemerintah untuk mengembangkannya dan menjadikan PT bermutu.
Dalam tulisan sederhana ini, saya akan mencoba mengelaborasi untuk melihat apakah suatu PTS bermutu atau tidak. Hal ini dirasa perlu agar para calon mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikan ke PT tidak kecewa dikemudian hari.
Menurut saya, setidaknya penilaian apakan sebuah PT itu bermutu atau tidak secara sederhana bisa dilihat dari adanya pengakuan. atau judgement dari pemerintah dan masyarakat. Pengakuan ini menjadi salah satu tolak ukurnya, apakah PT tersebut bisa masuk dalam kriteria kualitas atau tidak.
Adanya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat tentang profile sebuah PT dikatakan bermutu atau tidak tersebut tentu disebabkan oleh kriteria lainnya. Sedikitnya ada dua kriteria sebagai berikut;
Pertama, suatu lembaga pendidikan dapat dikatakan bermutu apabila dapat menghasilkan lulusan yang bermanfaat bagi masyarakat sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya. Dosen dan gedung yang bagus tidaklah harus menjadi syarat utama melainkan hanyalah merupakan sarana. Itu artinya, dosen yang bagus dan gedung yang megah, tidak dapat dijadikan sebagai ukuran atau indikator yang dapat menggambarkan mutu lulusan. Karena dosen atau gedung yang bagus tidak secara langsung merefleksikan kualitas lulusan. Dosen dan gedung yang bagus hanyalah merupakan sarana saja. Jadi kita akan salah tangkap, misleading, kalau melihat gedung yang bagus, lalu ditarik kesimpulan bahwa lulusan atau mutu perguruan tersebut berarti bagus.
Kedua, hasil lulusan PT tersebut dapat mengamalkan ilmu dan mempunyai sikap, keterampilan yang berguna demi kemaslahatan masyarakat. Ukuranya adalah setelah lulus mereka dapat atau tidak mengamalkan keterampilan ilmunya untuk masyarakat luas. Itu-lah di antara sedikit indicator yang bisa kita jadikan pegangan untuk memilih dan menilai sebuah PT berkualitas atau tidak.
Kelemahan PTS
Di atas telah dijelaskan bahwa sampai saat ini masyarakat masih menganggap bahwa PTS masih diragukan kualitasnya dibandingkan dengan PTN. Hal ini bisa dilihat dari minat para peserta didik setiap tahunnya yang menempatkan PTS sebagai pilihan terakhir. Karena alasan itulah, maka sudah sepatutnya para pengelola lembaga PTS kini sudah mulai berbenah diri agar nasib PTS menjadi PT yang bisa diandalkan karena mutu lulusannya dapat diterima oleh masyarakat luas.
Menurut hemat penulis bisa diklasifikasi mengapa PTS sampai saat ini masih dilirik sebelah mata. Hal ini karena PTS mempunyai kelemahan-kelemahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kelemahan-kelemahan tersebut muncul;
Pertama, hal ini sangat menentukan adalah faktor kepemimpinan, leadership dan menejemen di PTS. Menejemen di PTS sebagian besar masih mengadopsi model menejemen ormas (organisasi masyarakat) yang dikelola dengan banyak orang. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip usaha swasta yang ramping dan memilih orang yang benar-benar mampu. Sementara di PTS orang yang dipilih adalah mereka yang mau, bukan mampu. Bahkan seringkali masih tergantung oleh figur atau tokoh sebagai the solidarity maker.
Kedua, kurikulum yang tidak menarik dan tidak jelas arahnya. Hal ini bisa terjadi karena kurikulum yang ada hanya diambil secara “mentah-mentah” dari PTN atau PTS lainya tanpa diketahui apa dan mengapa kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa.
Ketiga, proses belajar mengajar (PBM) yang tidak mendukung tercapainya tujuan. Karena proses belajar mengajar pada dasarnya merupakan pelaksanaan rencana pendidikan yang telah dibuat matang dengan wujud kurikulum, maka kurikulum yang sekedar jiplakan akan mempengaruhi proses belajar mengajar.
Keempat, kompetensi dosen yang masih rendah. Harus diakui bahwa dosen yang ada di beberapa PTS sebagian besar masih dibawah standar. Rendahnya kualitas dosen ini sebagai akibat lanjutan dari dana yang kurang, sehingga tidak mampu merekrut dosen yang berkualitas. Kalaupun ada, seperti Doktor atau Profesor seringkali dipakai sebagai pajangan untuk meningkatkan citra PTS yang bersangkutan.
Kelima, lingkungan belajar yang kurang kondusif yang ditandai dengan tidak tumbuhnya “suasana akademis” atau keilmuan yang bagus, yakni rendahnya keinginan untuk meneliti, mengkaji atau belajar bagi komunitasnya. Sehingga kondisi PTS tidak ubahnya sebagaimana tempat kursus.
Keenam, fasilitas belajar yang kurang memadai, yakni tidak adanya laboratorium bahasa, buku, perpustakaan ataupun ruang komputer dan internet. Padahal semua itu adalah sangat penting demi terwujudnya sebuah lembaga pendidikan berkualitas.
Ketujuh, penerimaan input mahasiswa yang kurang bahkan tidak selektif. Karena yang ada hanya itu, maka akhirnya seadanya saja. Sebagai dampaknya adalah banyak para lulusan yang dilepas (diwisuda) yang sebetulnya belum siap terjun ke masyarakat. Keadaan ini sebenarnya bisa dijembatani dengan melakukan program remidial untuk menyiapkan mahasiswa yang akan masuk.
Dan yang terakhir sebagai penyebab adanya kelamahan PTS adalah dana yang tidak mandiri, yakni dipersiapkan sambil berjalan dan akhirnya PTS kurang dapat menarik dukungan dan minat masyarakat.
Untuk itulah peningkatan mutu PTS dengan berbagai langkah terobosan yang tepat adalah suatu hal yang mendesak untuk dilakukan yang tentunya dengan memperhatikan beberapa titik kelemahan di atas. Langkah ini harus dilakukan jika saja PTS ingin menjadi pilihan utama dan untuk periode selanjutnya tidak mau ditinggalkan oleh peminatnya. Wallahu a'lam.

Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam kolom Opini Surat Kabar Fajar Banten, 17 Juli, 2009




** Memburu Titel Haji Mabrur

Memburu “Titel” Haji Mabrur


Oleh : K. Muhammad Hakiki, MA
Mahasiswa S3 UIN Bandung

Genderang perjalanan upacara suci itu telah di buka. Jutaan kaum muslimin diseluruh pelosok bumi—termasuk Indonesia—meninggalkan tanah kelahirannya untuk hijrah ke ketempat dilahirkannya Rasululllah Muhammad Saw. Makkah al-Mukarramah, sebuah tempat yang diyakini memiliki “keramat” oleh umat Islam. Ya, keramat karena dapat menjadikan pelakunya secara singkat mengubah status sosial menjadi lebih baik dari sebelumya dengan sebutan Pak Haji atau Bu Haji.

“Kekeramatan” tempat itu (baca: Makkah) nampaknya tak pernah pudar, bahkan semakin “bersinar”. Buktinya, semakin lama bukannya menyusut tapi semakin “menyedot” kaum muslim diseluruh dunia untuk berkunjung ketempat itu. Kaum muslimin Indonesia nampaknya selalu menjadi kontestan tersubur; lebih dari duaratus ribu secara antri memenuhi panggilan sang Khaliq. Kondisi ini terkadang menjadi ladang proyek bisnis tersubur yang bisa menjamin kemapanan hidup.

Ada sebuah mitos –silahkan percaya atau tidak—yang berkembang di masyarakat dan ini terkadang dibenarkan oleh para pelaku ibadah haji. Katanya; ditempat suci itu segala tingkah laku buruk yang pernah dilakukan di tanah kelahirannya; seperti berbohong, mencuri, korupsi, atau perbuatan yang sifatnya menyakiti dan merugikan orang lain akan dibalas oleh Allah dengan balasan yang setimpal”. Tapi, kenapa ritual ibadah haji selalu membuat daya tarik mereka-mereka yang baik bahkan tak sedikit mereka yang kurang baik merasa perlu untuk berhaji. Mereka—yang tak baik—sepertinya tak takut terhadap mitos tersebut.

Lantas pertanyaannya adalah apa yang mereka cari? Bukankah ibadah haji adalah ibadah termahal dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa dan lainnya. Bukankah ibadah ini pun membutuhkan kesiapan kesehatan jasmani dan rohani yang begitu kuat. Tapi, kenapa masyarakat Indonesia masih berlomba dan berminat antri menunggu panggilan, meskipun dengan penentuan waktu yang tak jelas. Fenomena ini memang unik, tapi inilah mungkin nilai “kekeramatan” dari tempat suci yang bernama Makkah yang di dalamnya terdapat pusat sujudnya kaum muslimin di dunia, bernama Ka’bah.

Haji Mabrur sebagai impian

Kalau kita bertanya pada mereka yang sekarang ini sedang atau hendak berangkat ketanah suci perihal apa tujuan yang mereka cari dalam beribadah haji. Pasti semua jawabannya adalah menjadi haji mabrur bukan haji mardud, sebagaimana ucapan Rasulullah saw: “…tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” Atau dengan kata lain surga-lah tempat bernaungnya orang-orang ber-“titel “haji mabrur. Lantas, bagaimana cara memperoleh titel haji mabrur tersebut yang balasannya surga? Apakah ibadah haji yang sudah kita lakukan masuk dalam katagori haji mabrur?.

Untuk mengetahui haji mabrur dan apa kriterianya. Berikut akan diuraikan tinjauan dari segi definisinya. Kata “mabrur” yang berasal dari bahasa Arab jika dilihat dari segi semantisnya mempunyai arti “menjadi baik” atau “mendapatkan kebaikan.” Dilihat dari akar katanya, “mabrur” berasal dari kata “barra” yang berarti baik dan patuh. Jadi istilah “haji mabrur” adalah pelaku ibadah haji yang menjadi baik atau mendapatkan kebaikan.
Dari definisi ini jelas bahwa haji mabrur bukanlah hanya semata-mata kehendak Tuhan, akan tetapi juga tergantung pada diri para pelaku ibadah haji itu sendiri. Apakah ia berencana mewujudkan cita-citanya bertitel haji mabrur atau sebaliknya, title haji mardud.

Nilai ke-mabrur-an ibadah haji seseorang bukanlah ditentukan oleh seberapa sering ia beribadah haji, akan tetapi, ke-mabrur-an ibadah haji ditentukan oleh seberapa besar ia menghayati dan me-ejawantah-kan dalam bentuk amaliayah makna-makna dibalik ritus ibadah haji dalam kehidupan nyata pasca ber-haji. Jika semakin baik amaliyahnya pasca berhaji maka ibadah haji-nya bisa dimasukkan ke dalam katagori haji mabrur. Begitu sebaliknya, jika bentuk amaliyahnya sebelum dan sesudah ber-haji tidak ada peningkatan atau bahkan semakin menurun kualitasnya, maka yakinlah ibadah haji yang selama ini dilakukan sesungguhya tertolak dan haji-nya bertitel haji mardud bukan haji mabrur yang secara otomatis jaminan surga pun akan gugur.

Untuk itulah ibadah haji yang dilakukan oleh kita hendaklah tidak hanya sebatas sebagai pemenuhan syari’at semata, akan tetap, selayaknya harus dijadikan sebagai sebuah kebutuhan dalam rangka mendapatkan pencerahan hati untuk meningkatkan nilai ketaqwaan kita di “mata” Allah swt. Salah satu cara agar nilai ketaqwaan kita semakin bertambah ketika kita ber-haji adalah dengan memahami secara mendalah filsafat dibalik ritus-ritus ibadah haji seperti; makna symbol pakaian ihram yang berwarna putu tanpa jahitan, thawaf, Sa’i, Wukuf, Kurban, dan ritus-ritus lainnya.

Disamping ritus-ritus ibadah haji yang harus kita cari maknanya, juga tak lupa berbagai monument-monument penting yang ada di Makkah dan Madinah seperti; sejarah Ka’bah, Hajar aswad, Gua hira, Masjid Qiblatain dan monument-monument lainnya. Karena bagaimanapun, monument tersebut sarat akan makna dan nilai sejarah yang tinggi. Dan hal ini lagi-lagi harus di pahami oleh kaum muslimin terutama bagi mereka yang sekarang sedang ber-haji.

Imam Khomeini dalam salah satu pidatonya berkata,: “Salah satu tugas penting kaum muslimin adalah memahami hakikat haji ini. Kita seharusnya bertanya-tanya, mengapa kita harus melakukan ibadah haji yang pelaksanaannya menelan biaya sangat besar ini? Secara sekilas saja, kita bisa melihat bahwa haji adalah sebuah pertunjukkan yang digelar oleh kaum muslimin dalam rangka memamerkan kekuatan spiritual dan bahkan kekuatan materi yang dimiliki oleh kaum muslimin. Akan tetapi, pemahaman sekilas ini saja jelas tidak cukup untuk menggali rahasia keagungan yang tersembunyi dalam ibadah haji ini. Para ulama dan cendekiawan muslim harus berupaya keras untuk memahami, dan memahamkannya kepada orang lain, tentang mutiara hidayah, hikmah, dan kebebasan yang terkandung dalam ibadah ini”.

Seperti makna dibalik pakaian ihram yang serba putih yang tentunya banyak sekali kandungan hikmahnya yang bisa diambil pelajaran bagi kita.

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-qur'an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.

Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka secara otomatis telah dimulainya sejumlah larangan yang harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.

Semoga dengan perenungan makna dibaling ritus-ritus haji dapat menggugah kesadaran kita dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selamat berhaji, semoga mau berencana menjadi haji yang bertitel mabrur. Wallahu a’lam.



Tulisan ini pernah dimuat di kolom Opini Surat Kabar Tribun Jabar, 28 November 2009.

Jumat, 23 Oktober 2009

** Pemikiran Liberal Ulil Abshar-Abdallah

Memahami Sisi Liberal Pemikiran Ulil Abshar-Abdalla

Judul Buku: Menjadi Muslim Liberal
Penulis: Ulil Abshar-Abdalla
Editor: Abd Moqsith Ghazali
Penerbit : JIL bekerja sama dengan Freedom Institute
dan Nalar, Jakarta, 2006
Tebal : xvi + 201 halaman

Nama Ulil—lengkapnya Ulil Abshar-Abdalla—adalah nama seorang pemikir muda yang lahir dari tubuh organisasi NU. Kehadirannya di ranah pemikiran Islam pernah menggemparkan bumi Indonesia. Tepatnya tanggal 18 November 2002 ia menghadirkan sebuah tulisan di Harian Kompas dengan tema “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”. Kehadiran tulisan pendek itu menuai banyak perdebatan, bukan hanya di media Harian Kompas, akan tetapi dimedia-media cetak dan elektronik lainnya, Ulil dianggap telah melecehkan Islam dan sebagai hukumannya ia di-murtad-kan bahkan di-kafir-kan seperti yang dialami oleh pemikir liberal kaliber papan atas seumpama Ibn Rusyd (Averros), Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, Toha Husain dan sederet pemikir liberal lainnya. Yang lebih teragis lagi adalah munculnya fatwa dari sebagian ulama (baca: ulama Bandung) yang menghalalkan darahnya untuk ditumpahkan.
Kehadiran buku “Menjadi Muslim Liberal” ini adalah buah tangan ke dua setelah sebelumnya ia meluncurkan buku “Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik” yang kurang mendapat sambutan hangat dari kalangan masyarakat luas. Buku kedua ini sama dengan buku pertamanya adalah sebuah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikannya di berbagai media cetak seperti Kompas, Republika, Duta masyarakat, dan mailing list Islam Liberal http://www.islamlib.com/.

“Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” sebuah tanggapan
Ketika saya membaca dan memahami tema dan isi artikel ini, saya teringat pada sebuah artikel yang pernah ditulis oleh Nurchalish Madjid (Cak Nur) yang ia presentasikan di Taman Ismail Marjuki. Ketika saya membandingkan antara tulisan Cak Nur dengan Ulil, maka saya berkesimpulan bahwa tulisan Ulil tentang “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam”—juga dimuat dalam buku ini—adalah tulisan biasa yang tidak selayaknya mendapatkan respon yang heboh seperti apa yang terjadi, bahkan tulisan tersebut merupakan artikel “terburuk” yang pernah ia hasilkan, mengapa? Karena tulisan tersebut adalah sebuah daur ulang dari gagasan yang pernah dilontarkan oleh Cak Nur pada tanggal 3 Januari 1970, di TIM (Taman Ismail Marzuki) dengan tema “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Yang menarik dan bagus bagi saya diantara sekian banyak tulisan-tulisan Ulil yang pernah dihasilkan adalah artikelnya yang panjang dengan tema “Menghindari Bibliolatri: Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Artikel yang pernah dipresentasikan pada seminar di Yayasan Wakaf Paramadina ini menyoroti tentang perlunya pembacaan pada al-Qur’an dengan menghindari sikap “bibliolatri” atau pembacaan yang hanya berhenti pada teksnya saja (tekstual).
Justru yang menurut saya layak untuk menuai kontroversi bahkan penyandangan klaim murtad, kafir, penyesat dan serupa lainnya, adalah bukunya Intelektual muda, juga berasal dari NU yang cukup produktif ini yakni Nur Khalik Ridwan yang menulis sebuah buku “Detik-detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme Pembebasan” yang diterbitkan oleh Ar-Ruzz, Yogyakarta. Di dalam buku ini kita akan menemukan bagaimana keberanian Kang Kelik—itu sapaan akrab beliau—dalam melakukan “revolusi” atas “kemapanan tafsir” teks agama yang dicurigainya tidak berpihak pada wong cilik, bahkan tidak sensitif pluralisme, dan cenderung melindungi para pengibar kaum Islam borjuis dalam versinya, atau Islam Modern dalam versinya Daliar Noer. Tapi, mengapa respon kalangan elite agama berbeda atas dua tulisan Intelektual Muda tersebut ?. Mungkin salah satu diantaranya adalah karena faktor populeritas, yang tentunya Ulil lebih populer dari Kang Kelik.
Posisi Ulil Abshar Abdalla
Pemikir muda yang berasal dari kaum “sarungan”—dan sekaligus menantu dari seorang ulama (baca: Kiai) sekaligus budayawan: Mustafa Bisri—ini yang dijuluki oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai tokoh yang bertindak seperti Ibn Rusyd atau menurut Gunawan Muhammad sebagai Syaikh Siti Jenar, kini sedang berguru di Boston, Amerika Serikat.
Kehadiran Ulil di jagad ranah pemikiran Islam memang cukup mengagetkan beberapa kalangan. Mengapa? Karena Ulil hadir bukan sebagai Intelektual yang sudah mendapatkan sederet gelar baik dalam atau luatr negeri. Akan tetapi, ia hadir dari kalangan yang pernah dicemooh sebagai kalangan yang kolot, kampungan, tradisional dan sederet sebutan lainnya, yakni mereka yang hidup dilingkungan pesantren salaf yang ada di kampung.
Asal muasal Ulil dari kalangan pesantren kampung dengan tradisi pembacaan “kitab kuning” yang kuat justru merupakan nilai lebih dari seorang Ulil. Gagasan-gagasan Liberal yang dilontarkannya justru kerapkali dibumbui dus mendapatkan justifikasi yang kuat dalam tradisi klasik. Lihat saja dalam sebua tema tulisan dalam buku ini “On Being Muslim”. Ulil mengadopsi kaidah-kaidah ushul fikih, qawaid fiqhiyah, balaghah, mantiq (logika) yang pernah ia pelajarinya di pesantren dalam tangka mendukung gagasan-gasan yang ditebarnya. (hlm. 43).
Meskipun tema yang ditampilkan dalam buku ini terkesan “gado-gado”, akan tetapi, jika kita lihat lebih jauh, maka akan tampak benang merah yang bisa di petik yakni konsistensi pemikirannya untuk menepik jenis-jenis pemikiran atau tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, anti demokrasi, ketidakadilan, bahkan diskriminatif. Lihat saja dalam salah satu tema yang ada dalam buku ini “Fatwa MUI dan Konservatisme Agama”. Dalam artikel yang pernah diterbitkan di Media Indonesia ini, ia melancarkan kritikannya pada MUI yang menurutnya lembaga keagamaan ini telah memonopoli dan menghegemonik penafsiran atas Islam. Menurutnya Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, sekulerisme, mengucapkan selamat natal, bunga bank adalah terlarang telah ditentang oleh Ulil yang menurutnya MUI telah memonumenkan Islam dan memfinalkan penafsiran. (hlm: 159-162).
Yang menarik dari artikel yang ia tawarkan dalam buku ini adalah dengan tema “Mengapa Kita Perlu Meniru Barat”. Tema ini memang sangat aneh terdengar, mengapa? Karena, disaat kaum muslimin melakukan kampanye anti Barat—dalam hal ini bisa disebut sebagai anti Amerika dan sekutunya—justru Ulil menawarkan dan berpendapat lain dengan mengatakan bahwa umat Islam sekarang ini haruslah meniru Barat dalam hal kemajuannya. Argumen yang disajikan oleh Ulil adalah belajar dari pengalaman bangsa Jepang. Bangsa Jepang pada abad ke-18 dulu telah dihadapkan pada situsi yang sangat sulit: apakah harus menerima dan meniru Barat atau tetap berpegang pada warisan Tokugawe yang menutup diri (ekslusif) secara total dari pengaruh asing. Ulil—dengan mengutip ungkapan Hashim Saleh dalam artikelnya yang dimuat di harian Al-Hayat—mengatakan bahwa Jepang menempuh jalur “nekad” yang ternyata benar; “tirulah Barat”, karena di sana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia kemajuan umat manusia.
Menurut Ulil hendaknya umat Islam sekarang ini meniru apa yang pernah di alamai oleh bangsa Jepang yang meniru Barat. Akan tetapi, peniruan terhadap Barat menurutnya harus disertai dengan kritis tidak melakukan westernisasi. Dia menambahkan, menurutnya umat Islam sekarang ini haruslah melakukan rasionalisasi atas dua bidang; pertama, rasionalisasi atas pengelolaan kehidupan sosial-politik. Wujudnya adalah sistem demokrasi dengan seluruh kerangka kelembagaan dan kebudayaan yang ada di dalamnya; partai yang kuat, parlemen yang berwibawa, lembaga peradilan yang independen, pers bebas, masyarakat sipil yang “vibrant”, serta kultur sipil yang mapan. Kedua, rasionalisasi atas pengelolaan alam. Wujudnya adalah tekhnologi. Dua wujud ini menurutnya adalah sebuah kebutuhan mendesak yang harus diimplementasikan jika bangsa Islam ingin meraih kemajuan seperti Barat. (hlm. 177-180).
Kehadiran buku ini di ruang publik meminjam ungkapan Abd Moqsith Ghazali bisa dianggap sebagai penjelasan sementara Ulil atas kesalahpahaman berbagai pihak menyangkut pemikiran-pemikiran sang pemikir muda yang liberal ini. Memang sebaiknya Ulil membuat sebuah buku yang utuh bukan berbentuk bunga rampai, sehingga dengan demikian akan lebih memudahkan para “pemirsa” ilmu dalam membaca alur pemikiran Ulil yang liberal itu terutama dari segi metodologi yang ia gunakan.
Sekali lagi—dengan sederet kekurangan—diharapkan buku ini dapat mewakili “pecikan-percikap” pemikiran Ulil Abshar-Abdala yang menjunjung tinggi kemerdekaan berfikir, karena menurutnya kemerdekaan berfikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Akan tetapi meskipun demikian, ia masih percaya akan adanya batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali yang Maha Agung yakni Tuhan.
Sebagai kata akhir, sajian letupan pemikiran Ulil yang disuguhkan dalam buku ini diuraikan dengan bahasa yang mudah di pahami, menarik untuk di baca dan tentunya menghentakan pikiran kita. Hal tersebut memang salah satu kepiawaian Ulil di dalam menentukan diksi kalimat. Selamat menikmati!.

Peresensi : Muhammad Hakiki.

Alumni Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Mahasiswa Pascasarjana Studi Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Tulisan ini pernah di muat dalam kolom resensi surat kabar Radar Lampung, Juli, 2006